Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pun menanggapi laporan tesebut. DJP mengaku akan menindaklanjuti laporan itu.
"Kami akan pelajari laporan tersebut," Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama kepada detikFinance, Jumat (5/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami juga tidak bisa menyampaikan data atau infomasi spesifik terkait WP tertentu," tambahnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Global Witness menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa Adaro Energy melakukan pengalihan keuntungan perusahaan ke luar negeri. Tujuannya diduga untuk menghindari pajak.
Dalam laporannya Adaro melalui memindahkan laba ke jaringan perusahaannya di Singapura, Coaltrade Services International. Upaya itu disebutkan telah dilakukan sejak 2009 hingga 2017.
Adaro diduga telah mengatur sedemikian rupa sehingga mereka bisa membayar pajak US$ 125 juta atau setara Rp 1,75 triliun (kurs Rp 14 ribu) lebih rendah daripada yang seharusnya dibayarkan di Indonesia.
Dengan memindahkan sejumlah besar uang melalui suaka pajak, Adaro berhasil mengurangi tagihan pajaknya di Indonesia. Laporan itu menyebutkan pemasukan pajak RI berkurang hampir US$ 14 juta setiap tahunnya.
Masih menurut laporan itu nilai total komisi penjualan yang diterima Coaltrade di negara dengan tingkat pajak rendah seperti Singapura, telah meningkat dari rata-rata tahunan US$ 4 juta sebelum 2009, ke US$ 55 juta dari tahun 2009 sampai 2017.
Lalu lebih dari 70% batu bara yang dijual berasal dari anak perusahaan Adaro di Indonesia. Peningkatan pembayaran ini juga mendorong peningkatan keuntungan mereka di Singapura, di mana mereka dikenakan pajak dengan tingkat rata-rata tahunan sebesar 10%.
Keuntungan dari komisi yang berasal dari perdagangan batu bara Adaro yang ditambang di di Indonesia seharusnya dapat dikenakan pajak di Indonesia dengan tingkat pajak yang lebih tinggi yaitu 50%.
Direktur Utama Adaro Energy Garibaldi Thohir pun buka suara. Dia mengaku tak khawatir dengan isu tersebut. Menurutnya yang berhak menentukan hal itu adalah Ditjen Pajak.
"Dari saya simple, yang bisa menentukan apakah kita melakukan hal tersebut adalah Dirjen Pajak. Negara kita tidak boleh dijajah oleh bangsa lain dan dengan opini-opini institusi lain, karena yang paling tahu adalah otoritas pajak Indonesia," ujar pria yang akrab disapa Boy, dilansir dari CNBC Indonesia, Kamis (4/7/2019).
(das/zlf)