Mahathir mengungkapkan hal ini perlu dilakukan karena harus mandiri dalam menghadapi ancaman perekonomian di masa depan.
"Kita melihat negara-negara yang membuat keputusan sendiri untuk hukuman seperti itu (tarif). Malaysia dan negara lain juga harus selalu ingat, hal itu bisa terjadi pada kita," kata Mahatir dikutip dari Reuters, Senin (23/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahli Masih Meragukan
Sejumlah ahli meragukan rencana itu. Profesor ekonomi di Universiti Malaya, Nazari Ismail misalnya, mengatakan Arab Saudi tidak tertarik pada gagasan itu karena merupakan negara yang berpengaruh di dunia Muslim dan merupakan negara tuan rumah dari Organisasi Kerjasama Islam.
Nazari mengatakan Indonesia dan Pakistan mungkin juga tidak akan tertarik, jika benar bahwa kedua negara tidak menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kuala Lumpur karena tekanan kuat dari Arab Saudi.
Dia juga mengatakan Qatar mengekspor banyak gas alam dan kemungkinan akan lebih suka menggunakan dolar AS. Sementara sektor swasta Turki memiliki utang luar negeri yang besar dan hampir seluruhnya dalam mata uang dolar AS.
"Dengan kata lain mereka akan membutuhkan banyak dolar AS untuk membayar kembali utang mereka dalam mata uang dolar," katanya dikutip detikcom dari Malaysia Today, Jumat (27/12/2019).
Nazari mengatakan sektor swasta di semua negara, termasuk negara-negara Muslim tertarik pada transfer uang internasional yang cepat dan efisien, yaitu dolar AS.
Sementara itu, analis dan konsultan bisnis Hoo Kee Ping mengatakan Mahathir belum mendefinisikan jenis emas yang akan digunakan untuk dinar, apakah emas fisik, emas berjangka atau emas digital.
"Dengan asumsi jika dia mengacu pada emas fisik, di mana kita menemukan banyak emas untuk mendukung uang kertas," katanya, sambil menunjukkan bahwa salah satu alasan Depresi Besar tahun 1930-an adalah ketergantungan pada mata uang yang didukung dengan emas.
Dia mengatakan sulit bagi dunia untuk menghindari dolar AS sebagai mata uang internasional. Eropa telah mencoba dengan menciptakan mata uang Euro tetapi gagal untuk menantang dolar AS. Bagaimana dengan Indonesia, bisakah menerapkan sistem emas sebagai alat tukar mengganti dolar AS? Klik halaman selanjutnya
Berisiko Buat Indonesia
Menurut ekonom Bank Permata Josua Pardede ada sejumlah risiko buat Indonesia jika menjadikan emas sebagai alat tukar antar negara. Pertama karena emas memiliki harga intrinsik yang mahal.
Tak hanya itu, emas dari sisi harga juga sangat mudah terpengaruh kondisi eksternal. Begitu ada sentimen negatif maka harga emas akan melonjak.
"Jadi saya pikir sih mungkin agak berisiko ya kalau kita menggunakan, implementasikan emas sebagai alat perdagangan antar negara ya, khususnya negara-negara Muslim," kata dia saat dihubungi detikcom, Jumat (27/12/2019).
Dia menyarankan Indonesia tetap menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Apalagi Indonesia bukan negara dengan cadangan emas yang melimpah.
Bagi negara yang punya cadangan emas dalam skala besar, menjadikan komoditas tersebut sebagai alat tukar tak masalah karena menurutnya bisa memonopoli harga atau mengendalikan harga.
"Iya saya pikir sih mata uang masih lebih (baik). Ya untuk beberapa negara dengan cadangan (atau) penghasil emas sih nggak masalah ya karena itu dia bisa memonopoli harga juga ya, bisa men-setting harga ya," terangnya.
"Pendalaman pasarnya sendiri pasar komoditi kan belum begitu dalam ya. Jadi saya pikir risikonya lebih besar," tambahnya.
(toy/hns)