Dikutip detikcom dari portal online Bank Indonesia (BI), Senin (13/1/2020), rupiah terhadap dolar AS pada 13 Januari berada di level Rp 13.708, 10 Januari Rp 13.812, 9 Januari Rp 13.860, 8 Januari Rp 13.934, 7 Januari Rp 13.919, 6 Januari Rp 13.961, 3 Januari Rp 13.899, 2 Januari 13.895.
"Penguatan rupiah sejak beberapa bulan terakhir khususnya sejak Desember sampai pertengahan Januari ini gitu ya," kata Josua saat dihubungi detikcom, Senin (13/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
- 31 Desember 2019 Rp 13.901
- 30 Desember 2019 Rp 13.945
- 27 Desember 2019 Rp 13.956
- 26 Desember 2019 Rp 13.982
- 23 Desember 2019 Rp 13.978
- 20 Desember 2019 Rp 13.993
- 19 Desember 2019 Rp 13.983
- 18 Desember 2019 Rp 14.007
- 17 Desember 2019 Rp 14.018
- 16 Desember 2019 Rp 14.004
- 13 Desember 2019 Rp 13.982
- 12 Desember 2019 Rp 14.042
- 11 Desember 2019 Rp 14.025
- 10 Desember 2019 Rp 14.004
- 9 Desember 2019 Rp 14.021
- 6 Desember 2019 Rp 14.037
- 5 Desember 2019 Rp 14.094
- 4 Desember 2019 Rp 14.125
- 3 Desember 2019 Rp 14.130
- 2 Desember 2019 Rp 14.122
Menurut ekonom Bank Permata Josua Pardede ada sejumlah faktor yang bikin rupiah terus menguat.
Josua menjelaskan faktor yang mempengaruhi hal tersebut berasal dari dalam negeri maupun global. Untuk faktor global yaitu meredanya ketegangan antara AS dan Iran.
"Dipengaruhi juga oleh faktor global yang kita lihat risikonya agak mereda ya. Kemarin memang sempat beberapa hari risiko global agak meningkat setelah tensi geopolitik antara AS dan Iran agak meningkat. Tapi belakangan sudah kembali membaik lagi, tensinya agak menurun," kata dia saat dihubungi detikcom, Senin (13/1/2020).
Faktor kedua menurutnya dipengaruhi oleh optimisme pasar terhadap progres dari rencana kesepakatan dagang antara AS dan China yang selama ini diselimuti perang dagang.
"Fase pertama kan akan segera dilakukan. Kita akan ketahui bersama besok atau dini hari ya, kesepakatan dagang AS dengan China ini akan mencapai fase pertamanya. Kedua faktor ini akhirnya memberikan optimisme terhadap investor global," jelasnya.
Dia menjelaskan bahwa tak hanya mata uang rupiah yang menguat terhadap dolar AS. Namun rupiah paling menguat dibandingkan mata uang Asia lainnya. Faktor yang mempengaruhinya adalah fundamental perekonomian Indonesia.
"Dan kalau kita lihat kenapa rupiah yang paling menguat tidak lepas juga dari optimisme pelaku pasar, investor pada fundamental ekonomi kita yang relatif kuat, dan untuk sejauh ini memang secara fundamentalnya dari ekonomi kita yang masih cukup solid," tambahnya.
Rupiah bisa menguat sampai ke angka berapa?
Menurut ekonom Bank Permata Josua Pardede, rupiah masih sulit tembus ke Rp 12.000 per dolar AS karena isu defisit transaksi berjalan. Prediksinya dalam jangka pendek rupiah akan berada di level Rp 13.600-13.800 per dolar AS.
"Jadi arah rupiah saya pikir untuk jangka pendek masih berpotensi menguat. Tapi untuk menguat jauh ke level Rp 12.000 saya pikir relatif cukup berat juga ya karena faktor fundamentalnya kita masih alami defisit transaksi berjalan," kata dia saat dihubungi detikcom, Senin (13/1/2020).
Menurutnya defisit transaksi berjalan Indonesia memang menyusut pada 2019 dibandingkan 2018. Tapi itu lebih dikarenakan ekonomi global dan domestik yang melambat sehingga impor non migas secara keseluruhan turun cukup cepat dibandingkan ekspor.
"Karena baik ekspor sama impor sama-sama turun tapi impornya yang turunnya lebih cepat. Makanya neraca perdagangan membaik, defisit transaksi berjalan menyusut sehingga itu yang akhirnya menopang penguatan rupiah," jelasnya.
Baca juga: BTN hingga Garuda Mau Cari Utang Rp 27 T |
Selain itu, menurutnya akan sedikit berisiko jika rupiah menguat terlalu cepat. Kata dia penguatan rupiah yang terlalu cepat juga bisa berpengaruh kurang baik pada kinerja ekspor.
"Kalau rupiah menguat terlampau cepat akhirnya kinerja ekspor kita tidak kompetitif, mengingat komponen ekspor kita, bareng-barang komoditi ekspor kita kan masih relatif bahan mentah yang notabenenya kita berharap masih dari harga komoditi mentah dan juga semestinya kalau rupiahnya menguat tentunya kan jadi less competitive buat eksportir," jelasnya.
"Jadi itu yang jadi permasalahan yang kita lihat kalau penguatan terlalu cepat dibandingkan mata uang lainnya tidak cepat, ya kita makin tidak kompetitif ya," tambahnya. (toy/ang)