Kasus sengketa pajak menyeret PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS). Perusahaan gas pelat merah ini menghadapi sengketa pajak melawan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Sengketa ini awalnya terjadi atas transaksi pada tahun pajak 2012 dan 2013, dan membuat PGAS berpotensi membayar Rp 3,06 triliun. Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama menjelaskan sengketa ini telah dilaporkan di dalam catatan Laporan Keuangan Perseroan per 31 Desember 2017.
Dilansir dari keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (4/1/2021), Rachmat menjelaskan sengketa yang terjadi pada tahun 2012 berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.
Kemudian, sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan Perseroan. Rachmat melanjutkan, pada Juni 1998 PGAS menetapkan harga gas dalam US$/MMBTU dan Rp/M3. Hal itu disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika.
"Namun, DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan Perseroan berpendapat harga dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN," papar Rachmat.
Atas dua sengketa tersebut, DJP menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp 4,15 triliun untuk 24 masa pajak.
Rachmat juga menjelaskan sengketa pajak juga terjadi antara pihaknya dengan DJP untuk jenis pajak lainnya periode tahun 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 2,22 miliar.
Menghadapi masalah sengketa pajak, Rachmat menjelaskan akhirnya PGAS mengajukan upaya hukum keberatan atas pajak yang ditagihkan pada 2017. Namun, DJP menolak permohonan tersebut.
Lanjut halaman berikutnya>>>