Jakarta -
Kementerian BUMN buka suara atas sengketa pajak yang menyeret PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN. Terkait sengketa ini, PGAS berpotensi membayar Rp 3,06 triliun.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menjelaskan, masalah pajak ini sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2012. Dia bilang, perseroan sempat memenangkan sengketa ini di Pengadilan Pajak. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) dan kondisi berbalik.
"Ini kan kasus pajak tahun 2012, ketika di Pengadilan Pajak mereka menang, tapi kan ada ketentuan bahwa teman-teman dari Keuangan harus masuk ke PK, itu ketentuannya. Nah ketika PK, MA memutuskan bahwa itu menang," kata Arya kepada awak media, Senin (4/1/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Arya menuturkan, sebetulnya sudah muncul peraturan dari Direktur Peraturan Pajak yang menyatakan bahwa objek tersebut bukanlah objek pajak. Arya bilang, hal itu sudah diakui sekitar tahun 2014 hingga 2017.
"Tapi sebelumnya sudah ada juga peraturan keluar dari direktur peraturan pajak bahwa objek pajak tersebut sebenarnya bukanlah objek pajak, ini sudah mereka akui sekitar 2014 sampai 2017," ujarnya.
Atas kondisi PGAS tersebut, Arya menuturkan, pihaknya akan menempuh dua langkah. Pertama, pihaknya akan melakukan pembicaraan dengan Kementerian Keuangan atas sengketa tersebut. Apalagi, kata Arya, mereka telah mengakui objek tersebut bukanlah objek pajak.
"Kedua, kita juga nantinya akan melihat nantinya yang namanya putusan ada berapa lagi kasus yang mirip. Nanti dengan dasar keputusan tersebut maka kami akan minta untuk PGN melakukan lagi langkah-langkah hukum, misalnya langkah hukum PK2 namanya nanti, dan itu memungkinkan karena memang sudah diakui bahwa memang ini bukanlah objek pajak," paparnya.
Arya menuturkan, objek tersebut bukanlah objek pajak karena PGN tidak mengutip pajak ke konsumen yang membeli gas tesebut.
"Kenapa bukan objek pajak? Karena selama ini PGN itu tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas tersebut. Kalau tadi misalnya PGN mengutip pajak dari konsumennya, tidak membayar kepada negara untuk pajaknya mungkin PGN yang salah," terangnya.
"Jadi ini bukan soal bayar pajak ya, tapi soal itu apakah objek tersebut pajak atau bukan. Jadi kita sih optimis ini bisa dilakukan dan tidak akan membuat PGN (PGAS) rugilah karena ada langkah-langkah yang kita lakukan dan kita yakin di Kementerian Keuangan akan mensupport kita juga untuk hal ini," sambungnya.
Sengketa pajak ini terjadi atas transaksi pada tahun pajak 2012 dan 2013. Dalam keterbukaan informasi BEI, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama menjelaskan sengketa ini telah dilaporkan di dalam catatan Laporan Keuangan Perseroan per 31 Desember 2017.
Rachmat menjelaskan sengketa yang terjadi pada tahun 2012 berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.
Kemudian, sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan Perseroan. Rachmat melanjutkan, pada Juni 1998 PGAS menetapkan harga gas dalam US$/MMBTU dan Rp/M3. Hal itu disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika.
"Namun, DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan Perseroan berpendapat harga dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN," papar Rachmat.
Atas dua sengketa tersebut, DJP menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp 4,15 triliun untuk 24 masa pajak.
Rachmat juga menjelaskan sengketa pajak juga terjadi antara pihaknya dengan DJP untuk jenis pajak lainnya periode tahun 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 2,22 miliar.
Menghadapi masalah sengketa pajak, Rachmat menjelaskan akhirnya PGAS mengajukan upaya hukum keberatan atas pajak yang ditagihkan pada 2017. Namun, DJP menolak permohonan tersebut.
PGAS pada 2018 mengajukan upaya hukum banding melalui Pengadilan Pajak dan pada tahun 2019 Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding Perseroan dan membatalkan ketetapan DJP atas 49 SKPKB.
Namun, atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, pada tahun 2019, DJP justru mengajukan kembali upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) langsung kepada Mahkamah Agung. Upaya pengajuan PK oleh DJP untuk 49 SKPKB menghasilkan 30 Putusan MA yang menginformasikan permohonan PK yang diajukan DJP telah diputuskan dikabulkan dengan nilai sengketa Rp 3,06 triliun.
"Namun, perseroan belum menerima salinan Putusan MA sesuai prosedur yang ditetapkan dalam UU Mahkamah Agung," kata Rachmat.
Atas keputusan tersebut, Rachmat menjelaskan PGAS memiliki potensi kewajiban membayar pokok sengketa sebesar Rp 3,06 triliun ditambah potensi denda.
"Namun demikian, Perseroan tetap berupaya menempuh upaya-upaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan MA tersebut," kata Rachmat.