Ada IBC, Harga Saham ANTM Cs Diprediksi Makin Ngegas!

Ada IBC, Harga Saham ANTM Cs Diprediksi Makin Ngegas!

Vadhia Lidyana - detikFinance
Sabtu, 27 Mar 2021 19:00 WIB
Saham PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS) melejit pada perdagangan Selasa (5/1/2021) gegara Raffi Ahmad dan Ari Lasso mempromosikannya.
Ilustrasi/Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Harga saham emiten-emiten tambang pada perdagangan Jumat, (26/3) kemarin melambung tinggi. Hal itu disebabkan oleh sentimen positif dari pembentukan holding baterai kendaraan listrik yakni Indonesia Battery Corporation (IBC).

IBC terdiri dari MIND ID, PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) Holding ini didirikan sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk mendorong industri kendaraan listrik.

Kehadiran IBC membuat harga saham tiga emiten tambang antara lain Antam (ANTM), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), dan PT Timah Tbk (TINS) 'ngegas'. Dari data RTI, harga saham ANTM naik 11,47% pada penutupan perdagangan kemarin ke level Rp 2.430, lalu INCO naik 7,34% ke level Rp 4.680, dan TINS naik 5,42% ke level Rp 1.750 per lembar saham.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut CEO Sucor Sekuritas Bernadus Setya Ananda Wijaya, harga saham ANTM, INCO, dan TINS punya potensi untuk terus naik. Pasalnya, kehadiran IBC akan memberikan kepastian permintaan untuk nikel, dan juga industri kendaraan listrik akan memberikan kepastian permintaan untuk timah sebagai bahan baku kabel listrik.

"Nah ini tentu saja membuat ANTM, TINS, dan INCO bergerak naik karena diperkirakan ketiga perusahaan ini akan mendapatkan demand yang lebih pasti dibandingkan sebelum ada IBC. Karena sebelumnya mereka ini bergantung dari ekspor, di mana di luar negeri itu banyak perusahaan mobil listrik yang membutuhkan pasokan nikel, salah satunya dari Antam dan INCO, dan timah dari TINS," kata Bernardus kepada detikcom, Sabtu (27/3/2021).

ADVERTISEMENT

Dalam jangka panjang, harga saham ANTM diprediksi akan tembus di level Rp 3.900, INCO Rp 7.250, dan TINS Rp 2.350 per lembarnya. Namun, angka itu bisa tercapai dengan asumsi harga nikel berada di kisaran normal yakni US$ 18.000/ton.

"Harga nikel kalau kembali bullish dan kembali ke US$ 18.000-an, ketiga emiten ini berpotensi banget melaju signifikan dan bertahan di angka yang lebih tinggi dari sekarang," tutur Bernardus.

Tak hanya itu, prediksi harga tersebut juga bisa tercapai apabila nikel tetap digunakan sebagai bahan utama baterai kendaraan listrik. Dalam hal ini, mengacu pada wacana Tesla yang ingin menggunakan baja sebagai bahan utama baterai.

"Kedua bahan bakunya untuk baterai kendaraan listrik masih nikel, dan yang kedua kabel listrik masih menggunakan tembaga, dan yang ketiga asumsinya adalah kapasitas produksi atau demand dari nikel dan timah bisa meningkat kurang lebih 25% dibandingkan tahun 2020 untuk ketiga emiten ini minimal," papar dia.

Oleh sebab itu, menurutnya saat ini adalah waktunya investor membeli saham ANTM, Vale, dan Timah. "Ini potensinya masih cukup bagus untuk melakukan pembelian," ungkap Bernardus.

Dihubungi secara terpisah, Senior Vice President Research Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial juga memprediksi harga ketiga emiten tambang tersebut akan terus naik dalam jangka panjang.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Janson mengatakan, kenaikan jangka panjang nantinya terutama disebabkan oleh super siklus komoditas 10 tahun yang akan terjadi karena maraknya permintaan energi baru dan terbarukan (EBT).

"Permintaan renewable energy akan datang dari nikel, silver, kobalt, dan tembaga untuk kendaraan listrik, electric storage system, dan solar panel. Setiap tahun market untuk permintaan tersebut sekitar US$ 1 triliun. Ini katalis positif untuk saham ANTM dan INCO," papar dia.

Dengan perubahan itu, lalu diperkuat lagi dengan adanya IBC, maka harga saham emiten-emiten tersebut diprediksi kuat terus naik.

"Permintaan kendaraan listrik masih explosive jadi pertumbuhannya exponensial dan diekspektasikan return on equity (RoE) INCO dan ANTM akan double digit, mendekati 15-18% yang artinya profit margin juga tebal," jelas Janson.

Khususnya untuk TINS, menurut Janson akan terkerek dengan potensi hadirnya industri semikonduktor di Indonesia.

"Kalau TIN tertolong oleh industri semikonduktor yang sedang mengalami kekurangan chips untuk otomotif karena saking tingginya permintaan chips seiring dengan tingginya permintaan barang-barang elektronik pasca COVID-19. Jadi RoE TINS juga diekspektasikan akan double digit," terang Janson.

Namun, ia menegaskan kenaikan harga saham ketiga emiten yang lebih tinggi kemungkinan besar baru terjadi dalam jangka panjang, yakni 12 bulan sampai 16 bulan mendatang.

"ANTM masih jauh di 4.000, INCO juga masih jauh di 8.000, Tapi TINS di 2.700," pungkas Janson.


Hide Ads