Biang Kerok yang Bikin Dolar AS 'Ngamuk', Nyaris Sentuh Rp 15.000

Biang Kerok yang Bikin Dolar AS 'Ngamuk', Nyaris Sentuh Rp 15.000

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Senin, 04 Jul 2022 20:00 WIB
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) pagi ini masih berada di level Rp 14.100. Dolar AS sempat tersungkur dari level Rp 14.500an hingga ke Rp 14.119 pada Sabtu pekan lalu.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami penguatan terhadap rupiah. Hari ini, dolar AS berada di level Rp 14.945 atau hampir menyentuh level Rp 15.000.

Penguatan dolar ini dipengaruhi sejumlah faktor, di antaranya ialah ancaman resesi hingga kenaikan suku bunga acuan AS.

Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menjelaskan, yield obligasi AS mengalami penurunan. Hal itu menunjukkan jika pelaku pasar tengah mengamankan aset mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yield obligasi AS tenor 10 tahun sudah bergerak di bawah 3% yaitu di kisaran 2,88%. Isu resesi menjadi penyebab beralihnya investasi pelaku pasar keuangan ke obligasi AS. Harga aset berisiko termasuk rupiah pun dalam tekanan. Di tengah kebijakan pengetatan moneter bank sentral dunia ditambah inflasi yang tinggi, pelaku pasar memandang risiko resesi meningkat," terangnya kepada detikcom, Senin (4/7/2022).

Dia menuturkan, pelaku pasar juga mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga acuan AS yang agresif. Apalagi Federal Reserve sudah sering memberikan sinyal mendorong suku bunga demi meredam inflasi di negaranya.

ADVERTISEMENT

"Selain itu, pasar juga masih mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga acuan AS yang agresif. Perbedaan yield antara Indonesia dan AS yang menyempit mendorong pasar mencari aman di aset dolar AS dibandingkan rupiah sehingga ini ikut memberikan tekanan ke rupiah," jelasnya.

Senada, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan, potensi kenaikan suku bunga acuan AS membuat pelaku pasar beralih ke dolar.

"Spekulasi tentang kenaikan suku bunga dan inflasi yang cukup tinggi ini yang membuat pelaku pasar condong beralih ke dolar. Karena kita tahu, bahwa inflasi yang tinggi, suku bunga tinggi akan menyebabkan resesi," katanya.

"Kita tahu Amerika di kuartal I terjadi kontraksi PDB 1,6%, di kuartal II kemungkinan terjadi kontraksi," sambungnya.

Lebih lanjut, Ariston Tjendra mengatakan, penguatan dolar ini akan berimbas ke harga barang konsumsi yang memerlukan impor. Selain itu, dolar yang menguat bisa mendorong inflasi yang kemudian menekan daya beli masyarakat. Pada akhirnya berdampak pada ekonomi yang melambat.

Lanjut ke halaman berikutnya.

Sementara, Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menjelaskan, pelemahan rupiah telah diperkirakan seiring dengan sempitnya jarak antara suku bunga AS dan domestik. Dia menuturkan, keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan menahan masuknya aliran modal asing dan bahkan mendorong modal asing keluar. "Hal ini menjadi tekanan melemahkan rupiah," katanya.

Menurutnya, jika rupiah terus melemah akan memberikan dampak pada ekonomi nasional. Dia mengatakan, hal itu bisa menurunkan masuknya investasi asing ke Tanah Air hingga menekan pertumbuhan ekonomi.

"Pelemahan rupiah bisa meningkatkan risiko investasi sekaligus menurunkan masuknya investasi asing ke Indonesia. Pelemahan rupiah juga meningkatkan potensi inflasi di Indonesia. Inflasi Indonesia bisa meningkat lebih besar dan memangkas daya beli masyarakat. Ujungnya menahan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi," terangnya.



Simak Video "Video Ketua MPR soal Rupiah Nyaris Rp 17 Ribu Per USD: Momentum Tingkatkan Ekspor"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads