Jakarta -
Bagi perusahaan publik, akuntabilitas itu sangat sakral. Sekali melanggarnya, akan menjadi aib sepanjang masa dan menjadi kesalahan yang tak termaafkan. Reputasi di mata investor pun bisa hancur berantakan. Maka itu, perusahaan publik yang kredibel tidak akan bermain main dengan angka.
Pencatatan akuntansi harus dilakukan berdasarkan Standar Akuntansi yang Berlaku Umum oleh Akuntan Manajemen dan selalu melalui proses audit kredibel oleh Akuntan Publik yang sifatnya independen sebelum dipublikasikan.
Dengan konteks seperti inilah, ketika muncul tuduhan miring terkait pencatatan investasi Telkomsel di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) senilai Rp 600 miliar, pelaku pasar tidak langsung percaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesalahannya terlalu fundamental dan tidak mungkin terjadi di emiten sekelas GOTO dan Telkom, induk dari Telkomsel. Market melihat selisih itu hanya karena soal pencatatan akuntansi.
"Paparan tersebut tidak tepat secara akuntansi, mudah-mudahan tidak menjadi fitnah ataupun sekedar tuduhan tendensius," kata CEO SW Indonesia, Michell Suharli, pada diskusi publik Isu Investasi Telkomsel, Fakta atau Fitnah yang diselenggarakan MNC Trijaya Network, Selasa (12/7/2022) kemarin.
Isu ini ramai dari pesan berantai di grup WA yang menuduh GOTO menyulap pencatatan investasi Telkomsel senilai Rp 2,1 triliun.
Si penyebar informasi merasa heran mengapa di laporan keuangan GOTO, investasi Telkomsel senilai Rp2,1 triliun hanya dibukukan senilai Rp1,47 triliun.
Sisa senilai Rp 600 miliar hilang kemana? disembunyikan di mana? dan aneka stereotype lainnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Menurut Michell, informasi ini dapat ditemukan pada laporan keuangan konsolidasi GoTo tahun 2021 (audited) dan laporan keuangan GOTO periode 31 Juli 2021 yang juga telah diaudit.
Informasi ini pun dicantumkan pada prospektus GoTo sehingga bisa diakses, divalidasi dan diverifikasi kebenarannya oleh semua pihak. Tak ada yang ditutupi.
"Intinya sederhana. GoTo mencatat Pinjaman Konversi dari Telkomsel dengan Opsi Beli di bagian arus kas pendanaan pihak ketiga yang terbagi di dua pos berbeda yaitu "Penerimaan Pinjaman Dari Pihak Ketiga" dan "Penerimaan dari Penerbitan Instrumen Keuangan Majemuk Lain-Lain ("Liabilitas Derivatif)" masing-masing sebesar Rp 1,47 triliun dan Rp 0,63 triliun, dengan total US$ 150 juta atau setara dengan Rp 2,1 triliun. Saya melihat itu terang benderang di Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan terkait," katanya.
Jadi, tidak ada yang aneh. Nilainya tetap sama; Rp 2,1 triliun. Tidak ada Rp 600 miliar raib, menguap atau tidak jelas.
"Hanya karena melihat pos penerimaan dari pihak ketiga, dan lupa sama pos liabilitas derivatif, lalu dimunculkan informasi Rp 600 miliar menguap. Pemgungkapan secara akuntansi sudah sangat memadai, hanya kita perlu lebih teliti atau lebih jujur menyampaikannya pada publik," katanya.
Informasi mengenai Liabilitas Derivatif sebesar Rp 0,61 triliun, yang telah disesuaikan nilai wajarnya pada tanggal 31 Desember 2020, terdapat pada Catatan No. 18 di halaman 5/84 di laporan keuangan GoTo tahun 2021 dan Catatan No 18 di laporan keuangan Juli 2021 halaman 623 pada prospektus GoTo.
Sementara itu, informasi mengenai pinjaman sebesar Rp 1,49 triliun, terdapat pada Catatan 20 B di halaman 5/95 di laporan keuangan GoTo tahun 2021 dan Catatan 20 B pada laporan keuangan Juli 2021 di halaman 638 prospektus GoTo.
Fendi Susiyanto, Pengamat Pasar Modal dan CEO Finsevol Consulting, menambahkan pencatatan yang terpisah pada dua pos yang berbeda ini dilakukan untuk mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 71 - Instrumen Keuangan, dikarenakan adanya opsi beli yang melekat pada pinjaman konversi dari Telkomsel.
"Tuduhan tendensius dan menyesatkan ini harusnya tidak perlu muncul apabila lapkeu dan prospektus dipelajari secara hati hati," kata Fendy.