Untuk pertama kalinya dalam waktu 20 tahun, nilai euro kalah dari dolar AS. Penyebabnya adalah kekhawatiran terjadinya resesi di wilayah Eropa.
Dikutip dari Reuters disebutkan pada Rabu nilai euro tercatat US$ 0,9998 dan merosot hampir 12% sepanjang tahun ini.
Tekanan terhadap euro terjadi sejak awal tahun ini, apalagi ketika Rusia melakukan invasi ke Ukraina dan memicu inflasi dan mengganggu pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bank Sentral Eropa (ECB) diprediksi akan menaikkan suku bunga acuan pada rapat 21 Juli mendatang. Hal ini untuk mengimbangi Federal Reserve yang sudah agresif menaikkan bunga acuan hingga 75 bps pada Juni lalu.
Selain kekhawatiran resesi, Eropa juga was-was dengan melonjaknya harga gas akibat dampak perang Rusia dan Ukraina ini. Hal tersebut membuat Eropa berpotensi masuk ke jurang resesi pada kuartal III tahun ini.
Lembaga Nomura memprediksi, euro masih akan terus mengalami tekanan dan berada di bawah dolar AS. Euro ditargetkan berada di posisi US$ 95.
Meskipun kondisi ekonomi akan membaik ke depannya, euro diramal akan tetap lesu. Meskipun ada upaya pengetatan kebijakan suku bunga oleh ECB.
Hal ini karena Fed yang dinilai makin agresif untuk mengerek bunga acuan, sehingga dana investor akan lari ke negeri Paman Sam.
ECB saat ini memang sedang berupaya untuk menangani masalah anjloknya nilai tukar mereka dan angka inflasi yang terus melambung. Karena itu dibutuhkan strategi kenaikan bunga untuk mengatasi masalah tersebut.
Dari studi yang disebutkan ECB bahwa setiap 1% depresiasi yang terjadi pada euro bisa membuat inflasi hingga 0,1% selama satu tahun dan hingga 0,25% dalam waktu tiga tahun.
Sejauh ini ECB masih menilai depresiasi yang terjadi pada euro ini masih bisa dikendalikan. Tak ada target yang ditetapkan untuk nilai tukar meskipun dibayangi oleh inflasi yang semakin tinggi.
(kil/zlf)