Kepala Ekonomi Internasional dan Berkelanjutan Commonwealth Bank of Australia, Joseph Capurso menilai perbedaan langkah kebijakan antar kedua negara tersebut tidak sepenuhnya salah.
"Penurunan nilai mata uang sebenarnya dapat membantu eksportir di China, karena akan membuat barang mereka lebih murah sehingga dapat meningkatkan permintaan," terang Capurso dilansir dari BBC.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut Capurso menjelaskan, ekspor hanya berdampak 20% terhadap ekonomi China, sehingga nilai yuan yang lemah tidak akan membalikkan kelemahan fundamental domestik yang sebagian besar disebabkan oleh strategi nol-Covid Beijing dan krisis properti.
Di sisi lain, kondisi mata uang yang melemah juga dapat menyebabkan investor menarik uang mereka dari negara, hingga ketidakpastian di pasar keuangan.
Kondisi Ekonomi China
Ekonomi China sendiri sedang tidak baik-baik saja. Dari catatan detikcom, berdasarkan laporan dari CNN pada kuartal II tahun ini ekonomi China tumbuh 0,4%.
Dari data Biro Statistik Nasional China angka ini lebih rendah dibandingkan periode kuartal sebelumnya yang bisa tumbuh 4,8%.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi China disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menerapkan lockdown demi mencegah penyebaran COVID-19 di wilayah tersebut. Tak cuma itu ada juga krisis di sektor properti yang membuat perekonomian makin tertekan.
Semester I 2022, ekonomi China tumbuh 2,5%. Hal ini membuat target 5,5% secara keseluruhan tahun 2022 akan sulit dicapai.
Lockdown yang dilakukan di berbagai wilayah ini membuat rantai pasok terganggu karena banyak masyarakat yang tak bisa beraktivitas normal. Pusat perbelanjaan dan pabrik tutup.
Kebijakan ini disebut mengganggu kepercayaan investor. Pasalnya pemerintah China dinilai tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan sehingga operasional bisnis dan sentimen investor masih dibayangi ketidakpastian.
(hal/dna)