Perdagangan Karbon Dinilai Rawan Pencucian Uang, Harus Waspada!

Perdagangan Karbon Dinilai Rawan Pencucian Uang, Harus Waspada!

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Rabu, 25 Okt 2023 21:13 WIB
Bursa Karbon
Ilustrasi.Foto: Shafira Cendra Arini/detikcom

Keenam, kurangnya data dan informasi yang akurat, lengkap dan terkini tentang emisi GRK dari berbagai sektor dan subsektor ekonomi, yang dapat mempengaruhi kualitas dan ketepatan hasil pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) yang merupakan sumber money laundering.

Mengingatkan saja, pada 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa emisi GRK nasional mencapai 1,8 giga ton CO2e, sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa emisi GRK nasional hanya sebesar 1,2 giga ton CO2e.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perbedaan data ini menimbulkan keraguan dan kebingungan di kalangan pelaku pasar karbon dan merupakan bukti bahwa money laundering telah bercokol di Indonesia dalam pelaporan emisi GRK.

Ketujuh, kurangnya harmonisasi dan sinkronisasi antara standar MRV nasional dengan standar MRV internasional, terutama dalam konteks hubungan pasar karbon antara Indonesia dengan negara-negara lain atau mekanisme pasar global juga merupakan bukti bahwa standar MRV nasional bagian dari praktek money laundering.

ADVERTISEMENT

Pada 2020, Indonesia meneken perjanjian kerja sama dengan Norwegia untuk menjual kredit karbon hasil pengurangan deforestasi dan degradasi hutan.

Namun, perjanjian ini mengalami kendala karena standar MRV yang digunakan oleh kedua negara berbeda, sehingga mempersulit proses verifikasi dan transfer kredit karbon yang juga membuktikan bahwa habitat money laundering telah mengakar di Indonesia.

Kedelapan, kurangnya mekanisme dan institusi yang efektif untuk mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti hasil MRV, serta untuk menyelesaikan sengketa dan mengatasi kecurangan yang terjadi dalam proses MRV termasuk akibat money laundering. Contoh kasus:

Pada 2019, terdapat kasus pemalsuan data emisi oleh salah satu entitas penjual karbon, yang berhasil lolos dari verifikasi dan menjual kredit karbon dengan harga tinggi.

Kasus ini baru terungkap setelah adanya investigasi oleh media massa, yang menyebabkan kerugian bagi pembeli karbon dan merusak reputasi pasar karbon nasional sekali lagi memperlihatkan rentannya perdagangan karbon akibat money laundering.

Kesembilan, pemberian insentif dan sanksi hanya berfokus pada aspek ekonomi dan lingkungan, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, budaya dan money laundering yang juga berpengaruh terhadap perilaku pelaku usaha.

Selain itu, pemberian insentif dan sanksi juga belum didukung oleh sistem monitoring, evaluasi, dan pelaporan yang transparan dan akuntabel yang juga bebas dari money laundering. Hal ini dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan, manipulasi, atau penghindaran dari kewajiban pelaku usaha dalam mengurangi emisi karbon yang berbungkus money laundering.

Kesepuluh, kelemahan fatal dari Pembentukan lembaga independen yang bertugas melakukan audit, monitoring, dan evaluasi dalam POJK 14 tahun 2023 tentang perdagangan karbon.

Hal ini menunjukkan bahwa lembaga tersebut belum memiliki kriteria dan standar yang jelas untuk menilai kinerja dan efektivitas dari skema perdagangan karbon sehingga lembaga ini berpotensi menjadi instrumen dari aktivitas money laundering.

"POJK ini juga akan menciptakan monopoli dan menghambat persaingan sehat di pasar karbon. Monopoli dalam pasar karbon dan money laundering adalah dua sisi dalam mata uang yang sama," kata Deni.


(hns/hns)

Hide Ads