Kala itu, pemerintah menunjuk kakek Presiden Prabowo Subianto, Margono Djojohadikoesoemo sebagai Presiden Direktur pertama BNI. Melalui UU tersebut, BNI awalnya hendak dijadikan sebagai bank sentral. Kemudian pemerintah kala itu menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 1968 yang menetapkan BNI menjadi 'Bank Negara Indonesia 1946' serta mengubah statusnya menjadi Bank Umum Milik Negara.
Di awal kiprahnya, BNI diberi mandat untuk menata ekonomi rakyat dan berkontribusi pada pembangunan nasional. Hal tersebut sejalan dengan mandat UU Nomor 17 Tahun 1968 tentang Bank Negara Indonesia 1946. Seiring berlalunya waktu, badan hukum BNI berubah menjadi Perseroan Terbatas (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1992.
Sejak saat itu BNI sebagai BUMN pertama memulai kiprahnya. Berselang sekitar empat tahun setelah resmi menjadi plat merah, BNI menjadi perusahaan terbuka melalui pencatatan saham perdananya (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada tahun 1996.
Kala itu, BNI menerbitkan saham Seri-B sebanyak 4,34 miliar dengan harga Rp 500 per lembar. Kemudian pada tahun 1999, Perseroan melakukan aksi korporasi dengan right issue atau menerbitkan saham baru Seri-C sebanyak 151,90 miliar dengan harga Rp 25 per lembar.
Kiprah BNI di pasar modal terus menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari kapitalisasi pasar BNI saat ini yang tumbuh hingga 155,90 triliun. Saham BNI saat ini dibanderol dengan harga Rp 4.180 per lembar.
Mengutip dari laman resmi BNI, saat ini 60% atau sekitar 22,37 miliar saham Perseroan dimiliki oleh pemerintah melalui PT Danantara Asset Management (Persero). Kemudian 40% sisanya dimiliki oleh masyarakat, baik secara individu maupun institusi, domestik dan asing.
Bisnis BNI sendiri fokus pada sektor Business Banking berbasis customer-centric dengan memberikan pembiayaan kepada korporasi. BNI juga menerapkan delapan sektor prioritas, yakni minyak, gas, pertambangan, permesinan, konstruksi, telekomunikasi, digital, kimia, ritel, pertanian, hingga makanan-minuman.
Capaian tersebut menjadikan BNI sebagai perbankan nasional terbesar ke-4 dengan kinerja keuangan yang terus tumbuh. Berdasarkan laporan keuangan hingga Mei 2025, BNI memiliki aset jumbo sebesar Rp 1.091,5 triliun. Laba BNI juga tercatat sebesar Rp 8,5 triliun dengan pendapatan sebesar Rp 15,73 triliun dengan komposisi pendapatan bunga Rp 26,97 triliun dan beban bunga Rp 11,23 triliun.
Hingga Mei 2025, BNI juga mencatat penyaluran kredit sebesar Rp 755,44 triliun yang masuk ke dalam total aset Perseroan. BNI juga mencatat rasio pinjaman terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) atau Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 94,5% hingga Mei.
Sementara untuk Return on Equity (ROE), tercatat di level 12,8% dengan rasio kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) sebesar 2%. Hingga Mei 2025, BNI mencatat DPK sebesar Rp 799 triliun dengan rasio giro dan tabungan terhadap DPK (Current Account Saving Account/CASA) pada level 71,7%, serta rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) 20,8%.
Rekomendasi Saham BNI
Kinerja fundamental maupun saham BNI juga menjadi sorotan dari sejumlah lembaga sekuritas pasar modal. Saham BBNI juga menuai ragam rekomendasi. Berikut rinciannya:
CGS International Sekuritas Indonesia (11/7)
BBNI Spec Buy dengan support Rp 4.020 cut loss jika break di bawah Rp 3.930 jika tidak break di bawah Rp 4.020, potensi naik Rp 4.200-4.290 short term.
PT Binaartha Sekuritas (11/7)
BBNI Buy Area Rp 3.750-3.850 dengan target price (TP) Rp 4.250, Rp 4.420, Rp 4.600, Rp 4.750 dan Rp 4.880. Area support BBNI di harga Rp 3.750 dengan status Hold.
Tonton juga video "Berburu Tiket Murah ke Eropa di BNI Emirates Travel Fair" di sini:
(ara/ara)