Adaro Andalan 'Digebuk' Nasib Buruk Batu Bara, Masih Layak Dikoleksi?

Stock Watchlist

Adaro Andalan 'Digebuk' Nasib Buruk Batu Bara, Masih Layak Dikoleksi?

Andi Hidayat - detikFinance
Rabu, 30 Jul 2025 10:36 WIB
Adaro Andalan Digebuk Nasib Buruk Batu Bara, Masih Layak Dikoleksi?
Adaro Andalan /Foto: Andi Hidayat/detikcom
Jakarta -

Kinerja keuangan PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) diramal gigit jari seiring turunnya minat dunia terhadap batu bara. Laba dan pendapatan emiten Garibaldi Thohir ini disebut masih akan terkoreksi pada kuartal II tahun 2024 lantaran permintaan batu bara amblas di sejumlah negara.

Mengutip analisa pasar Indo Premier, Rabu (30/7/2025), laba bersih AADI diperkirakan anjlok 21% di kuartal II-2025 akibat harga jual rata-rata batu bara yang terus menyusut dan terkoreksi sepanjang tahun 2025. Kendati pemerintah telah memberi insentif royalti batu bara hingga 4% kepada pemegang IUPK, penurunan harga jual batu bara disebut masih menghantui kinerja AADI.

Sementara itu, rasio pemanfaatan alat berat (stripping ratio/SR) diperkirakan meningkat menjadi 3,8x pada kuartal II-2025, naik 19% dari kuartal sebelumnya. Namun angka ini masih di bawah target tahun penuh FY25F sebesar 4,3x, akibat curah hujan yang tinggi sepanjang tahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemulihan volume penjualan pada kuartal II-2025 dibanding kuartal I-2025 tampaknya juga masih terbatas, karena curah hujan yang tetap tinggi secara tidak biasa sepanjang April hingga Mei. Selain itu, terdapat risiko tambahan dari penerapan HBA terhadap ekspor," tulis analisa market Indo Premier beberapa waktu lalu.

AADI Masih Kuat Survive?

Gedung Adaro, Jl Rasuna Said Jakarta Gedung Adaro/Foto: Ari Saputra
Berdasarkan data perdagangan RTI Business Rabu (30/7), saham AADI dibuka menguat 0,36% ke harga Rp 6.975 per lembar. Pada awal perdagangan, AADI mencatat volume saham sebanyak 646.60 ribu dengan nilai Rp 4,52 miliar. Adapun frekuensi saham yang diperdagangkan sebanyak 419 kali.

Pergerakan saham AADI terpantau variatif dengan kecenderungan memerah. Sebulan terakhir, saham AADI melemah 12 hari sebesar 13,19% dan 10 hari lainnya menguat 17,55%. Sepanjang 2025, emiten milik Boy Thohir ini tercatat melemah 17,70%.

Melemahnya saham AADI juga sejalan dengan kinerja keuangan perseroan, di mana laba bersih perseroan menurun 28,4% menjadi US$ 222,8 juta dari US$ 311,5 juta pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Hingga akhir Maret 2025, pendapatan AADI juga ikut terkoreksi sebesar 11,45% menjadi US$ 1,16 miliar.

Terkoreksinya pendapatan AADI sejalan dengan penurunan penjualan batu bara perseroan, yang tercatat 12,13% menjadi US$ 1,06 miliar. Beban pokok pendapatan AADI juga menurun menjadi US$ 817,02 juta dengan laba kotor sebesar US$ 347,3 juta sepanjang kuartal I-2025.

Namun begitu, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta Utama, menjelaskan saham AADI mencatat tren pembelian investor asing. Ia juga menyebut prospek batu bara masih dapat membaik seiring katalis hilirisasi batu bara yang dikerjakan oleh Alamtri Group.

"AADI masih net buy asing trennya. Sebenarnya kalau AADI ini kan juga ada peran dari Adaro. Adaro ini kan sudah ada diversifikasi di bidang EBT, makanya dia melepas AADI untuk IPO (initial public offering) kan," kata Nafan kepada detikcom, dikutip Rabu (30/7/2025).

Dihubungi terpisah, Analis MNC Sekuritas Hijjah Marhama atau akrab disapa Rahma menyebut saham AADI masih cukup menarik lantaran memiliki valuasi yang rendah dengan potensi imbal hasil yang atraktif. Namun begitu, ia tak menampik adanya potensi penurunan laba di kuartal II-2025.

"Saya melihat AADI masih memiliki prospek yang menarik, valuasi rendah, potensi imbal hasil dividen juga cukup atraktif. Meskipun memang ada potensi turun laba di Q2 ini nantinya about 18-22% proyeksinya, tapi ini hal yang sudah diantisipasi karena sejalan dengan demand pasar dan harga komoditasnya," ungkapnya.

Nasib Buruk Batu Bara

Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (27/7/2023). Kementerian Keuangan mencatat realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara atau minerba meningkat sebesar 94,7 persen dari Rp40,2 triliun pada semester I 2022 meningkat menjadi Rp78,3 triliun pada semester I 2023 yang disebabkan oleh penyesuaian tarif iuran produksi atau royalti batu bara. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc. Ilustrasi/Potret Aktivitas Kapal Tongkang Batu Bara di Sungai Musi/Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Mengutip laporan Reuters, negara tujuan utama ekspor batu bara Indonesia mulai membatasi pembeliannya, yakni China dan India. Kedua negara tersebut beralih ke jenis batu bara dengan kandungan kalori tinggi ke negara lain. Sepanjang Januari-Mie 2025, Indonesia tercatat hanya memasok 78,45 juta ton batu bara ke China. Angka tersebut menurun 11,6% dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.

Dalam periode tersebut, ekspor batu bara Indonesia ke India juga menurun 7,24% menjadi 43,59 juta ton.Namun begitu, batu bara disebut masih menjadi sumber energi yang eksisting pada masa transisi energi. Rahma menilai, setidaknya masih ada sekitar lima tahun komoditas batu bara digunakan sebagai sumber energi.

"At least 5 tahun mendatang pun batu bara masih menjadi exist commodity, karena kebutuhan energy utama masyarakat seperti penggunaan listrik. Dan dalam transisi ini juga harus memikirkan efisiensi biaya, selama energi terbarukan belum efisien secara cost," terang Rahma.

Batu bara dalam negeri sendiri disebut perlu mencari pasar utama usai India dan China menurunkan jumlah ekpornya dari Indonesia. Rahma menilai, batu bara merupakan komoditas yang bergerak sesuai siklus pasar. Dengan begitu, permintaan batu bara tinggal menunggu waktu lonjakan setelah fase oversupply.

"Secara operasional yang menarik dari sektor energy adalah mostly cost rendah, jadi ketika high demand terjadi, harga melonjak, disitu lah timing sell on high terbaiknya karena kinerja secara pendapatan naik, dan dividen lebih besar di fase atau siklus high demand," ungkapnya.

AADI Kuat Nanjak ke Harga Berapa?

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat pada penutupan perdagangan di BEI Jumat (19/11). IHSG berada pada level 6.720,26. Ilustrasi/Foto: Agung Pambudhy
Mengutip analisa Phintraco Sekuritas, profitabilitas AADI tetap relatif stabil karena beban pokok penjualan berhasil ditekan sebesar 7,57% YoY menjadi US$ 789,98 juta, dibandingkan US$ 854,64 juta pada kuartal I-2024. Di sisi lain, AADI juga diuntungkan dengan adanya kebijakan tarif royalti lantaran memegang izin IUPK berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2025.

"Regulasi ini memperluas rentang Harga Batu Bara Acuan (HBA), yang berdampak pada penurunan tarif royalti di level harga batu bara saat ini. Penurunan tarif royalti ini membuka peluang bagi AADI, sebagai pemegang IUPK, untuk memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut—terutama di tengah tren penurunan harga jual batu bara," tulis analisis Phintraco Sekuritas, dikutip Rabu (30/7/2025).

Dengan menggunakan metode penilaian Sum-of-the-Parts (SOTP), Phintraco menilai harga wajar saham AADI bisa berada di level Rp 10.200 per saham. Estimasi ini mencerminkan rasio P/E dan P/BV yang diproyeksikan masing-masing sebesar 4,77x dan 1,26x.

Analis MNC Sekuritas Hijjah Marhama menilai, AADI masih cukup sustain untuk investasi jangka panjang mengingat transisi energi tidak akan cepat dan mudah. Dalam kondisi ini, batu bara masih menjadi bagian penting dalam kebutuhan masyarakat yaitu listrik. Secara valuasi, AADI disebut masih menarik per 4.15x.

"Namun yang menjadi tantangan sekaligus risiko investasi di AADI yang perlu di cermati investor adalah, ADRO sebelumnya 85% pendapatan dari Export. Nah saat ini sudah menjadi AADI, yang di mana memang exposure ekspor terbesar ke China, kita perlu pahami bahwa China saat ini memiliki preferensi pada batu bara kalori tinggi, ya ini salah satu nya yang membuat pendapatan dan margin AADI menurun," imbuhnya.

Tonton juga video "Tiga Pilar Utama di 30 Tahun PT Adaro Energy Indonesia" di sini:

Halaman 2 dari 4
(ara/ara)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads