Komisi XI Cecar Anak Buah Purbaya soal Lesunya Bursa Karbon RI

Komisi XI Cecar Anak Buah Purbaya soal Lesunya Bursa Karbon RI

Andi Hidayat - detikFinance
Senin, 17 Nov 2025 16:48 WIB
Komisi XI Cecar Anak Buah Purbaya soal Lesunya Bursa Karbon RI
Komisi XI Cecar Anak Buah Purbaya soal Lesunya Bursa Karbon RI/Foto: Andi Hidayat/detikcom
Jakarta -

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mempertanyakan potensi pasar karbon Indonesia. Pasalnya, proyek karbon Indonesia yang tercatat masih sangat sedikit. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), baru ada empat proyek Bursa Karbon (IDXCarbon).

Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menjelaskan saat ini Bursa Karbon baru laku Rp 78 miliar sejak peluncurannya pada 2023. Selain itu, pembeli jasa Bursa Karbon masih didominasi oleh pelaku usaha di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

"Perkembangan bursa karbonnya sampai sekarang, seperti yang tadi dijelaskan, baru menyangkut jumlah yang, ya, kita mau bagaimana juga baru tingkatannya sekitar Rp 78 miliar, Rp 78 miliar, dan apakah ini sesuai dengan ekspektasi? Dan yang pembayar pajaknya pun rata-rata masih dalam lingkup PLTU," ungkap Misbakhun dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama jajaran Kementerian Keuangan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mempertanyakan efektivitas kebijakan tersebut. Pasalnya, terdapat narasi yang menyebut pajak karbon justru membebani biaya energi dan ekonomi makro. "Ini kalau menurut saya yang penjelasan lebih lanjutnya, kenapa ketika kita memilih kebijakan ini justru menjadi beban kepada ekonomi," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi XI DPR RI, Thoriq Majiddanor, mempertanyakan langkah konkret dari adanya Bursa Karbon dan pajak karbon. Di sisi lain, ia juga mempertanyakan mekanisme pembayaran pajak bagi perusahaan pembeli kredit karbon di Bursa. Ia menilai, harga karbon domestik masih sangat rendah.

ADVERTISEMENT

"Bagaimana mekanisme sinkronisasi (pajak karbon) dengan perdagangan karbon? Misalnya, dapatkah pelaku menggunakan kredit karbon dari IDX karbon untuk mengkompensasi kewajiban pajak karbonnya? Kemudian, harga karbon domestik juga masih sangat rendah, Rp 60.000 per ton. Kemudian, apakah pemerintah berencana meningkatkan for price pajak karbon di atas Rp 30 per kilogram seiring berjalannya waktu?," jelasnya.

Kritik tentang Bursa Karbon dan penerapan pajak karbon juga disampaikan Anggota Komisi XI DPR, Musthofa, yang menyebut pasar karbon di Indonesia masih sangat minim. Padahal, pajak karbon sendiri telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

"Faktanya, mulai dari tahun 2023 hingga tahun 2025 ini masih minimalis. Karena masih minimalis ini tentu kan tidak sesuai dengan harapan kita bersama. Sehingga ketika undang-undang itu sudah disahkan dalam pelaksanaannya tidak sesuai, ini upaya yang harus dilakukan apa? Untuk percepatan mengejar ini," jelasnya.

Perdagangan Karbon Dibuka Internasional

Sementara itu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengaku pemerintah mendorong keterjangkauan Bursa Karbon. Ia menyebut, perdagangan karbon ini telah dibuka secara internasional pada awal 2025.

Ia menjelaskan, terdapat empat proyek Bursa Karbon di Indonesia. Pertama, PT Pertamina Power Indonesia dengan proyek pembangkit terbarukan geothermal di Lahendong. Kedua, PT PLN Nusantara Power dengan proyek PLTGU di Muara Karang Blok 3, konversi Pembangkit Combined Cycle di Muara Tawar, dan proyek Pembangkit Listrik Baru Berbahan Bakar Gas Bumi PLTMG Sumbagut 2 Peaker.

Ketiga, PT PLN Indonesia Power dengan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Minihidro (PLTM) di Gunung Wugul, PLTGU Priok, dan konversi Pembangkit Combined Cycle (Add On) PLTGU di Grati. Terakhir, PT Perkebunan Nusantara IV dengan proyek pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit (POME) untuk biogas co-firing.

Ia menjelaskan, Indonesia memiliki potensi besar Bursa Karbon. Hal ini tercermin dengan luasan lahan hutan yang dimiliki Indonesia. "Kita ingin agar carbon credit yang tercipta dari kawasan hutan Indonesia dapat dievaluasi dengan baik oleh global dan harapannya ini nanti bisa menggunakan mekanisme Bursa Karbon yang sudah ada," jelasnya.

Ia menambahkan, terkait pajak karbon pihaknya telah menerapkan tarif. Ia menjelaskan, pajak karbon ini menjadi dasar untuk mendukung perdagangan di Bursa. Namun begitu, ia menyebut roadmap pajak karbon akan membebani perekonomian.

"Potensi dampak pajak karbon yang akan negatif terhadap ekonomi makro, risiko kenaikan biaya energi, seperti misalnya kita simulasikan dengan BPP listrik dan bahan bakar fosil, ini sudah jelas. Nah justru disini kita akan menghitung supaya kredit yang diperjualbelikan di pasar karbon itu dapat mengkompensasi tambahan biaya yang diakibatkan oleh usaha kita menurunkan emisi," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(ara/ara)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads