Kimia Farma Usut Kasus Labelisasi Paracetamol

Kimia Farma Usut Kasus Labelisasi Paracetamol

- detikFinance
Rabu, 02 Apr 2008 14:35 WIB
Jakarta - PT Kimia Farma Tbk siap memberlakukan sanksi bagi pegawainya yang terbukti melakukan kesalahan administratif terkait labelisasi obat paracetamol di Surabaya.

Direktur Utama Kimia Farma Sjamsul Arifin menjelaskan dalam jumpa persnya di Mario's Place Cafe di Cikini, Jakarta, Rabu (2/4/2008). Saat ini Kepala Cabang Kimia Farma di Surabaya sudah di nonaktifkan sampai ada kejelasan penyelesaian kasus ini.

"Kepala Cabangnya sudah kita non aktifkan, sampai ada kejelasan kasus ini harus bagaimana penyelesaiannya. Karena kalau langsung dipecat kan namanya zalim," katanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kasus ini bermula pada Mei 2007 ketika penyakit demam berdarah mewabah di Surabaya. Maka Dinas Kesehatan tingkat II Surabaya pun membutuhkan banyak paracetamol (obat penurun panas) dalam waktu singkat.

Karena kalau menunggu pasokan dari pusat butuh waktu lama, maka Kimia Farma akhirnya membeli dari pabrik lain. "Tapi kita kurang mengecek dan langsung mengirim ke Dinas Kesehatan," kata Sjamsul.

Panitia pengadaan obat Dinas Kesehatan kemudian menemukan adanya masa kadarluarsa obat yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan di Surabaya.

Obat yang diproduksi pabrik lain itu hanya memiliki kadaluarsa 2 tahun, padahal standarnya harus 3 tahun. Kimia Farma sendiri biasa memproduksi paracetamol dengan masa kadaluarsa 5 tahun.

"Sebenarnya obatnya tidak apa-apa, karena masih baru dibuatnya. Hanya saja, karena ternyata obat ini dibuat oleh sebuah pabrik baru, sesuai aturan BPOM, perusahaan baru hanya boleh mencantumkan masa kadarluarsa 2 tahun," katanya.

Kimia Farma pun menarik kembali paracetamol yang sudah dikirimkan ke Dinas Kesehatan Surabaya untuk dikembalikan ke pabrik pembuatnya dan diberi label ulang. Namun untuk mengurangi biaya distribusi, labelisasi ulang dilakukan oleh Kimia Farma sendiri dengan seizin pabrik pembuatnya. Padahal, menurut aturan, labelisasi hanya boleh dilakukan oleh pabrik pembuatnya.

"Kalau sudah begini, yang salah kitanya atau regulasinya? Kita kan hanya ingin mengefisienkan biaya distribusi. Masa kalau pabriknya di Papua, kita harus kirim lagi ke Papua, lalu dibalikin lagi?" katanya.

Saat ini, Kimia Farma masih menunggu kejelasan dari pihak-pihak berwenang. Jika yang dipermasalahkan adalah labelisasi yang dilakukan Kimia Farma sendiri, maka itu termasuk kesalahan administratif, yang berwenang memberi hukuman administratif adalah BPOM.

Obat Generik


Kimia Farma menargetkan kenaikan laba bersih tahun ini sebesar 26,9 persen dari laba tahun lalu yang mencapai Rp 52 miliar yang antara lain didukung oleh kenaikan harga obat generik.

Target ini memungkinkan karena pasar farmasi nasional diprediksi akan tumbuh sekitar 9 persen. Sehingga berdampak pada penjualan perseroan yang diharapkan ikut naik 16,74 persen dari 2007 yang sebesar Rp 2,366 triliun.

"Kita berharap  kenaikan laba 26 persen karena ada kenaikan pasar. Karena waktu 2006 pasar obat sempat kontraksi 1,56 persen tapi di 2007 tumbuh 9 persen lebih," kata Sjamsul.

Namun ia menegaskan, kenaikan pasar obat ini akan sangat dipengaruhi harga obat di pasaran, termasuk obat generik. Karena dari penjualan Kimia Farma yang sebesar Rp 2,3 triliun, sekitar 40 persen diantaranya adalah penjualan obat generik dan 60 persen sisanya non generik.

Untuk harga obat generik, pemerintah baru saja menaikkan harga obat ini. Seperti untuk amoxilin, dari harga Rp 300 per butir naik jadi Rp 370 per butir. Meski dinilai belum maksimal, kenaikan ini masih ditanggapi positif pengusaha dibanding tidak naik sama sekali.

"Kita lihat sampai Juni nanti. Kalau harga bahan obatnya turun, maka kita masih bisa produksi. Tapi kalau ternyata naik, kita gak tahu harus gimana. Sementara sampai Juni ini kita masih punya stoknya," jelasnya.

Ia memberi gambaran, kalau harga bahan obat amoxilin masih dikisaran  US$ 40 per kg, maka harga amoxilin generik masih bisa diterima di harga Rp 370 per butir. Sementara kalau harga bahan obat amoxilinnya sudah mencapai US$ 50 per kg, maka harga Rp 370 per butir sudah tidak sesuai lagi.
(lih/ir)

Hide Ads