Chairman of Finance & Tax Committee Indonesian Petroleum Association (IPA) Hendra Halim menilai Indonesia agak telat untuk mengimplementasikan proyek tersebut. Pasalnya, ada beberapa negara lebih dulu yang telah menerapkan proyek tersebut sebagai bisnis.
Misalnya saja Amerika Serikat yang telah mempunyai sebanyak 233 proyek CCS yang masih dalam pengembangan, konstruksi, maupun sudah beroperasi. Sementara di benua Asia, China menjadi pemain utama dengan jumlah 21 proyek CCS.
"Menurut saya Indonesia agak telat ya karena negara lain sudah lari. Kalau dilihat secara global, di US itu pemain utamanya, ada 233 in development, construction, operational. Kalau di Asia, China pemain besarnya. Jadi dia ada 21 facilities size-nya 16,6 Mtpa. Indonesia kelihatannya besar number of projectnya, tapi secara size ini kecil," terang Hendra dalam acara Bedah Infografis IPA Convex 2024, Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Pada saat yang sama, Hendra menyebut Malaysia telah siap mengimplementasikan proyek tersebut. Hal ini dapat dilihat dari negara tersebut sudah menjalin kerja sama dengan beberapa negara yang membutuhkan tangkap karbon, seperti Jepang dan Korea Selatan.
Selain itu, negara tersebut juga mulai memperkenalkan insentif pajak. Adapun dari segi infrastrukturnya, negara tersebut sudah siap pada tahun 2026.
"Malaysia punya kantong (tangkap karbon), meskipun tidak sebanyak kita, tapi mereka sudah kontak dengan Jepang Korea. Mereka tandatangan MoU lebih banyak, tax insentif mulai diperkenalkan. Memang membutuhkan kegiatannya," imbuhnya.
Untuk itu, Hendra mendorong adanya kolaborasi yang tepat antara pemerintah dan industri migas. Dia pun menyebut ada 4 prioritas, seperti regulasi pelaksana CCS yang komprehensif, perjanjian lintas batas karbon, harga karbon, hingga insentif.
"Pemerintah harus fokus pada kemudahan berbisnis, kepercayaan investor, dan kepercayaan pemangku kepentingan," jelasnya. (hns/hns)