PLN Butuh Dana US$ 100 Miliar buat Kembangkan 75% Pembangkit Berbasis EBT

PLN Butuh Dana US$ 100 Miliar buat Kembangkan 75% Pembangkit Berbasis EBT

Ayu Dahlia - detikFinance
Kamis, 14 Nov 2024 20:08 WIB
PLN
Foto: dok. PLN
Jakarta - PT PLN (Persero) menegaskan komitmennya mendukung visi swasembada energi yang dicanangkan pemerintah melalui penggunaan energi bersih di Conference of the Parties (COP29) di Azerbaijan. Perseroan ini memaparkan berbagai inisiatif pendanaan hijau dan strategi yang telah dibuat guna mendukung proyek transisi energi di Tanah Air.

Direktur Keuangan PLN, Sinthya Roesly mengungkapkan bahwa PLN sebagai tulang punggung kelistrikan di Indonesia telah secara konsisten menunjukkan komitmennya dalam pengelolaan dana investasi hijau untuk mendukung visi swasembada energi. Oleh sebab itu, PLN terus menggalang pembiayaan hijau dari lembaga publik, bilateral, multilateral hingga swasta.

Dalam konteks ini, PLN telah merancang beberapa inisiatif pembiayaan hijau, salah satunya melalui penyusunan Sustainable Linked Financing Framework (SLFF) dan Green Financing Framework (GFF).

Sinthya menjelaskan PLN telah merancang strategi pendanaan proyek energi hijau dalam transisi energi di Tanah Air. PLN menargetkan pengembangan pembangkit 75% berbasis energi terbarukan. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan pendanaan yang diperkirakan mencapai lebih dari USD 100 miliar hingga 2033.

"Untuk memperoleh pembiayaan transisi energi, salah satu yang paling utama menurut perspektif PLN adalah menyiapkan proyek yang tepat. Kami punya ratusan daftar proyek mulai dari pembangkitan, transmisi dan distribusi, termasuk juga smart grid," papar Sinthya dalam keterangan tertulis, Kamis (14/11/2024).

Lebih lanjut, Sinthya menuturkan PLN akan terus mengeksplorasi berbagai opsi pendanaan, baik melalui kerja sama dengan pemberi pinjaman internasional maupun sumber daya lokal guna memastikan transisi energi berjalan sesuai rencana. Beberapa partner institusi keuangan yang memberikan dukungan untuk transisi energi PLN di antaranya World Bank, Asian Development Bank (ADB) hingga Just Energy Transition Partnership (JETP).

"Dalam dua tahun terakhir, kami telah mendapatkan sekitar USD 2,9 miliar, dan saat ini kami sedang berdiskusi dengan ADB untuk pembiayaan sekitar USD 4,8 miliar. Kami juga tengah berbicara dengan beberapa investor lain dan total potensi pendanaan yang sudah kami miliki saat ini sebesar USD 46,9 miliar," pungkas Sinthya.

Di sisi lain, Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral Mari Elka Pangestu menyampaikan Pemerintah Indonesia telah menginisiasi Global Blended Finance Alliance (GBFA) guna merangkul berbagai negara berkembang untuk berkolaborasi dalam pembiayaan transisi energi. Sejak diluncurkan di KTT G20, GBFA telah diikuti oleh beberapa negara seperti Perancis, Kanada dan Kenya.

"GBFA bertujuan untuk membantu pembiayaan sebagai upaya mengurangi perubahan iklim dan SDGs. Perkiraan (pembiayaan) untuk aksi iklim saja berkisar antara USD 1-2 triliun. Jika ditambahkan upaya SDGs ke dalamnya, jumlahnya akan mencapai sekitar USD 6 triliun," ungkap Mari dalam Indonesian Pavilion Talkshow "Fostering and Enabling Innovative Climate Finance Mechanism" jelasnya

Mari mengatakan negara berkembang, termasuk Indonesia, harus merancang strategi untuk menyiasati gap pendanaan tersebut. Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, dibutuhkan sekitar USD 280 miliar untuk seluruh aksi iklim Indonesia hingga tahun 2030 yang hanya sekitar 30% bisa didanai anggaran negara, sehingga sisanya akan bersumber dari swasta dan sumber lainnya.

"Sebagaimana yang disampaikan Pak Hashim (Djojohadikusumo) dalam sambutannya kemarin, beliau menegaskan bahwa pemerintahan baru akan melanjutkan komitmen pemerintahan sebelumnya. Dan ini (GBFA), adalah salah satu komitmen yang kami harap dapat dilanjutkan," imbuh Mari.


(prf/ega)