Freeport telah menghentikan kegiatan operasi dan produksinya di Tambang Grasberg sejak 10 Februari 2017 lalu karena tak bisa mengekspor konsentrat tembaga. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan.
Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, menyatakan penyelesaian sengketa di Arbitrase Internasional adalah opsi terakhir bagi pemerintah dan Freeport, sebisa mungkin dihindari. Tapi kalau perundingan gagal, satu-satunya jalur penyelesaian adalah Arbitrase.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menegaskan, pemerintah siap menghadapi jika Freeport menggugat ke Arbitrase. "Pemerintah siap," katanya.
Arcandra menjelaskan, pemerintah telah memberikan jalan terbaik kepada Freeport. Yang dilakukan pemerintah sudah maksimal karena pemerintah juga terikat oleh Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Dalam pasal 170 Undang UU Minerba, pemegang KK diwajibkan melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014.
Pemerintah sudah berbaik hati dengan memberikan relaksasi selama 3 tahun hingga 11 Januari 2017 lewat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 (PP 1/2014), tapi Freeport tak juga membangun smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral).
Karena itulah, pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), lalu menerbitkan IUPK dan izin ekspor untuk Freeport. Satu-satunya jalan agar Freeport dapat tetap mengekspor konsentrat adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK, karena UU Minerba memungkinkannya. Namun Freeport menolak IUPK dan izin ekspor dari pemerintah.
Arcandra masih berharap Freeport mau menerima solusi yang ditawarkan oleh pemerintah. "Begini, kita cari jalan yang terbaik. Jalan terbaik tersebut tidak boleh melanggar UU, PP atau Permen. Tapi kalau jalan terbaik itu masih ada ruang enggak untuk kita melihat, iya kan? Itu yang sedang kita lakukan," tutupnya. (mca/wdl)