Perizinan yang Rumit Hambat Pengembangan Panas Bumi RI

Perizinan yang Rumit Hambat Pengembangan Panas Bumi RI

- detikFinance
Kamis, 17 Mar 2011 12:20 WIB
Jakarta - Pengembangan listrik dari panas bumi makin dibutuhkan Indonesia, mengingat cadangan sumber energi fosil semakin berkurang. Namun sampai saat ini, proses perizinan untuk pengembangan panas bumi di Indonesia dirasa masih menyulitkan.

Hal tersebut disampaikan Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Sugiharto Harso Prayitno dalam diskusi bulanan Geo Energi di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (17/3/2011).

"Pengembangan panas bumi memiliki risiko yang sangat tinggi dan semua daerah yang ada di Indonesia bisa memiliki potensi panas bumi. Tapi ketika di daerah, kita masih menemukan permasalahan, yakni terkait permasalahan perizinan. Padahal panas bumi ini penting dikembangkan, di negara lain yang mau kembangkan, dibutuhkan pemboran hingga 6.000 meter. Sedangkan, di Indonesia kita hanya menggali sejauh 1.800 meter sudah bisa dapat panas bumi," urainya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, permasalahan yang masih sering dihadapi untuk pengembangan panas bumi adalah ketika bertemu dengan perizinan. Izin yang masih menghambat meliputi rekomendasi Gubernur/Bupati untuk pinjam pakai lahan untuk kegiatan eskplorasi dan ekploitasi, rekomendasi teknis dari perhutani, izin dari Kementerian Kehutanan, izin penggunaan air tanah dan air permukaan, izin lokasi pembangunan proyek dari BPN, persetujuan AMDAL, UKL, dan UPL, serta beberapa izin terkait.

"Masih banyak dibutuhkan izin ini dan itu. Di Pemda saja sudah terlalu banyak izin. Padahal pengembangan panas bumi membutuhkan izin primer, tapi izin primer tersebut bisa kalah karena masih banyaknya izin-izin yang berliku-liku," terang Sugiharto.

"Akibat adanya permasalahan izin tersebut, akhirnya membingungkan pihak investor serta pengembang. Izin primer bisa kalah dengan izin lain, belum lagi ada investor yang bilang kalau perizinan kita masih doubtly," tambahnya.

Sugiharto menjelaskan, potensi panas bumi di Indonesia sampai saat ini sudah mencapai 28 ribu MW, namun yang terpakai baru 1180 MW. Pengembangannya pun dibutuhkan peran pengusaha (pihak swasta) dan investor.

"Sumber EBT (Energi Baru Terbarukan) di Indonesia sangat besar, namun untuk pengembangannya dibutuhkan juga peran dari pengusaha (pihak swasta). Kalau dari pemerintah sendiri akan sulit," katanya.

"Kalau mengandalkan APBN tidak mungkin, kita tahu APBN terbatas dan di negara manapun APBN-nya pasti tidak banyak, maka itu dibutuhan peran swasta. Dengan syarat harus ada kepastian hukum dan juga kepastian usaha bagi mereka," imbuh Sugiharto.

Sugiharto mengatakan, sejauh ini penggunaan Panas Bumi perlu dimaksimalkan. Untuk masalah harga, sekarang sudah bisa diatasi (melalui Permen 02/2011) dan dirinya pun menilai bahwa harga panas bumi di Indonesia terbilang masih murah dikarenakan masih banyaknya resources (sumber) yang tersedia.

"Harga listrik dari panas bumi turun karena resources kita bagus, kalau teknologi kita sudah bisa megang dimana kita sudah bisa mengembangkan sendiri harga juga bisa turun lagi. Bahkan kalau negara kita sudah bisa menjadi lender, memberikan kepastian hukum sudah jelas, maka harga akan turun lagi," terangnya.

Sekarang ini, lanjut Sugiharto pihaknya sedang mengusahakan untuk merevisi undang-undang terkait pemakaian lahan yang ada di kawasan hutan. "Sejauh ini kan, ada kesulitan untuk perizinan di situ karena panas bumi masih dianggap sebagai rezim pertambangan, padahal panas bumi sendiri merupakan kegiatan ramah lingkungan," jelasnya.

Di tempat yang sama, Kepala Divisi EBT PLN, Muhammad Sofyan menyampaikan, kendala serupa masih dihadapi oleh pihaknya dalam pengembangan listrik panas bumi.

"Memang, untuk regulasi, kita masih banyak terkendala di kawasan terkait hutan lindung, hutan konservasi, dan taman nasional. Karena banyak potensi panas bumi yang terletak di situ," ujarnya.

Dari aspek pendanaan, tambah Sofyan, Indonesia masih butuh kepastian hukum dan kepastian usaha. Karena pengembang sendiri banyak yang mempertanyakan government guarantee yang harus bisa diberikan selain jaminan kelayakan usaha PLN.

"Dibutuhkan pula dana equity yang besar yang umumnya diperlukan untuk eksplorasi panas bumi. Untuk 1 MW saja, dibutuhka eksplorasi sampai US$ 3 juta. Kalau 4000 MW, berarti bisa sampai US$ 12 miliar kan," tambahnya.

(nrs/qom)

Hide Ads