Hal tersebut seperti diungkapkan Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BP Migas, Gde Pradnyana mengatakan harga gas untuk domestik lebih murah dibandingkan harga jual gas yang diekspor, selisihnya sekitar US$ 6 per British Thermal Unit (mmbtu).
"Saat ini harga rata-rata gas ekspor sebesar US$ 12 per mmbtu atau sekitar US$ 72 per boe (Barel Oil Equivalent) atau kira-kira setara dengan 6 juta British Thermal Unit atauu mmbtu), sementara harga gas kita ke pasar domestik saat ini rata-rata hanya separuhnya, atau sekitar US$ 6-7 per mmbtu atau setara US$ 36 per boe," ungkap Gde kepada detikFinance, Rabu (25/4/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gas yang dibeli domestik minimal sebesar 56% x produksi gas 1,5juta boe per day x selisih harga ekspor dan domestik US$ 36 per boe = US$ 30,24 juta per hari atau US$ 11 miliar/tahun," rinci Gde.
Gde bilang, jika dengan kurs dolar Rp 9000 maka selisih harga ekspor terhadap domestik ini mencapai hampir Rp.100 trilun/tahun.
"Dengan kurs US$ Rp 9.000 dikali US$ 11 miliar per tahun sama dengan Rp 100 triliun per tahun," ucap Gde. Artinya jika menjual gas ke domestik sekitar 56% dari produksi gas 1,5 juta boe per daya selama setahun Rp 100 triliun melayang.
Sebelumnya, Anggota Komiter Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Qoyum Tjandranegara, mengatakan selama ini banyak pihak mempermasalakan produksi minyak mentah Indonesia turun 20-30 ribu barel per hari.
"Tapi hampir tidak ada orang mempermasalahkan gas bumi yang diekspor hampir mencapai 800.000 berel oil equivalen (boe) per hari dengan harga hanya 55% dari hari Bahan Bakar Minyak (BBM)," ungkap Qoyum, di Jakarta, Senin (23/4/2012).
Diungkapkan Qoyum, ekspor gas bumi mencapai 800.000 boe/hari tersebut dalam setahun negara merugi sekitar Rp 183 triliun. Sedikit? Tentu tidak.
(rrd/ang)