Namun apa latar belakang dibentuknya BP Migas yang menjadi dasar UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas?
Berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1971 tentang Pertamina yang berlaku sejak 1 Januari 1972, Pertamina diposisikan sebagai satu-satunya perusahaan negara yang melaksanakan penguasaan minyak dan gas bumi (Migas) secara terintegrasi mulai dari hulu sampai hilir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama kiprahnya di bawah UU No. 8 Tahun 1971 harus diakui Pertamina telah menjadi satu entitas bisnis paling strategis bagi Indonesia untuk melaksanakan pembangunan. Akan tetapi, di sisi lain monopoli Pertamina sebagai regulator sekaligus pemain menciptakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang," ungkap Buku Putih BP Migas dikutip detikFinance, Minggu (18/11/2012).
Dalam menjalankan tugas tersebut, Pertamina dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil. Dalam prakteknya, karena keterbatasan modal dan teknologi, Pertamina banyak menandatangani kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing terutama untuk menggarap wilayah-wilayah sulit.
"Contoh kontrak yang ditandatangani dengan pihak asing adalah Kontrak Bagi Hasil untuk mengelola Blok Mahakam di timur laut Balikpapan dengan perusahaan asal Perancis TOTAL E&P INDONESIE. Untuk mengelola perusahaan-perusahaan minyak asing tersebut, Pertamina membentuk Badan Koordinasi Kontraktor Asing yang kemudian menjadi Badan Pengusahaan dan Pembinaan Kontraktor Asing (BPPKA). Kontrak-kontrak jangka panjang pada masa lalu tersebut masih menyisakan dominasi kontraktor asing dalam kegiatan usaha hulu migas Indonesia saat ini," tulis Buku Putih BP Migas.
Menjadi persoalan, selama kiprahnya di bawah UU No. 8 Tahun 1971 harus diakui adanya monopoli Pertamina sebagai regulator sekaligus pemain menciptakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pada tahun 1974 sampai awal 1975, Pertamina sempat tidak dapat menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah dengan jumlah kewajiban mencapai US$1 miliar.
"Jumlah utang Pertamina yang besar ini mempunyai pengaruh luas terhadap keuangan negara, cadangan devisa, pinjaman luar negeri, dan perkreditan dalam negeri. Di luar itu, kasus-kasus yang membelit Pertamina, misalnya kasus Karaha Bodas, menyebabkan negara terimbas risiko gugatan perdata akibat masalah-masalah yang seharusnya menjadi urusan bisnis Pertamina," ungkap Buku Putih BP Migas lagi.
Kondisi ini melahirkan ide untuk mengkaji ulang sentralisasi kewenangan Pertamina. Pada akhir tahun 1996, pemerintah mengajukan rancangan undang-undang migas yang baru dengan maksud memisahkan peran regulator dan operator untuk menciptakan tata kelola industri migas yang lebih sehat.
Melalui pembahasan yang alot dan sempat mendapatkan penolakan DPR, akhirnya DPR mengesahkan RUU Migas menjadi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Kehadiran Undang-undang No 22 tahun 2001 mengubah fungsi dan peran Pertamina. Perubahan yang paling mendasar adalah perpindahan fungsi dan pekerjaan, jika yang sebelumnya berada di Pertamina, setelah kehadiran UU No.22 Tahun 2001 dipindahkan ke institusi lainnya.
Pertama, fungsi pengawasan dan pengendalian dikeluarkan dari kewenangan Pertamina. Untuk itu dibentuk badan baru yaitu Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) dan Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH Migas).
Kedua, kegiatan hulu migas yaitu menyiapkan wilayah kerja dan melakukan tender wilayah kerja kewenangannya berpindah ke Ditjen Migas Kementerian ESDM.
Ketiga, pengelolaan hilir migas terutama terkait dengan ketentuan-ketentuan distribusi BBM dan LPG diatur oleh Kementerian ESDM. Demikian juga dengan penetapan kuota volume BBM dan gas ditetapkan oleh BPH Migas bersama-sama dengan Dirjen Migas.
(rrd/hen)