Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dibentuk berdasarkan Undang-undang Migas Nomor 22/2011. Institusi ini bersifat independen dan langsung di bawah koordinasi Presiden.
"Namun walau kita independen, koordinasi langsung dengan Presiden, untuk nambah pegawai sendiri tidak bisa," ungkap Wakil Ketua Komite BPH Migas Fanshurullah Asa ditemui detikFinance di Kantornya, Jalan Kapten P. Tendean, Senin (14/4/2014).
Fanshurullah mengatakan, saat ini jumlah pegawai di BPH Migas hanya berjumlah 200 pegawai. Dari jumlah tersebut, setengahnya bukan berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya itu, lembaga yang berfungsi untuk mengatur distribusi dan konsumsi BBM, pengaturan harga gas bumi melalui pipa dan pengawasannya, serta membagi jatah BBM subsidi untuk masing-masing daerah ini tidak mempunyai perwakilan di daerah.
"Kita tidak bisa punya perwakilan, seperti yang bisa dilakukan SKK Migas. Itu karena tidak ada aturannya, sehingga pengawasan kita di daerah sulit, seperti distribusi BBM," tegas Fanshurullah.
BPH MIgas, demikian Fanshurullah, juga membutuhkan pegawai di daerah agar bisa merumuskan jatah BBM subsidi dengan lebih akurat. "Sekarang mau membagi jatah BBM subsidi agak rumit, karena kita kekurangan data rill dari internal BPH Migas," katanya.
Fanshurullah mencontohkan data tentang jumlah nelayan yang berhak menggunakan BBM bersubsidi. Data yang disediakan beberapa institusi tidak sinkron, sehingga ada baiknya BPH Migas punya data tersendiri yang bisa jadi acuan.
"Saya kasih contoh, data nelayan saja. Pertamina, KKP, atau BPS itu beda-beda, ada yang 2 juta, 4 juta dan 6 juta. Seperti ini kan sulit bagi kami membagi BBM subsidinya," tegasnya.
(hds/hds)











































