Salah satunya pada Peraturan Presiden nomor 67 Tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur serta perubahannya. Aturan ini menyamaratakan persyaratan antara proyek bernilai Rp 200 miliar dengan Rp 20 triliun.
"Harusnya yang kecil-kecil itu bisa dipermudah persyaratannya. Kan proyeknya kecil," ungkap Direktur Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Bappenas Bastari Pandji Indra di Hotel Shangrilla, Jakarta, Rabu (14/5/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masa mereka juga harus sediakan hasil feasibility study yang lengkap. Padahal kalau yang kecil itu kan ya sudah hafal lah. Investor asing jadi nggak berminat kalau rumit. Kecil saja begini, apalagi proyek besar," sebutnya.
Di samping itu, proyek pembangkit juga bisa dibatalkan oleh investor. Karena mungkin terlalu lama dalam administrasinya. Sedangkan nilai untuk proyeknya sangat kecil.
"Masalahnya yang gitu-gitu harus sama dengan yang unggulan, harus sama dengan yang seperti PLTU Batang 2 x 1.000 MW dengan nilai puluhan triliun, itu kan terlalu complicated," kata Bastari.
Selain itu, ada kesalahan pandangan dalam realisasi di lapangan. Ada kecenderungan proyek dengan skema KPS adalah milik swasta. Padahal sebenarnya adalah proyek pemerintah yang dikerjakan oleh swasta.
"Artinya kalau memang itu tidak jalan oleh swasta, maka pemerintah harus ambil alih, karena betapa pentingnya ini buat pemerintah. Jadi ini adalah skala opini bahwa ini adalah proyek pemerintah," terangnya.
(mkl/rrd)