Anjloknya harga minyak dunia saat ini di bawah US$ 50 per barel salah satunya disebabkan perang produk shale oil dari Amerika Serikat (AS) dengan minyak konvensional. Tidak ada yang menyangka AS menjadi salah satu produsen minyak terbesar dunia.
"Tidak kita lihat Amerika Serikat dulu, tidak ada yang menyangka negara itu seperti saat ini. Menjadi produsen minyak terbesar di dunia, bahkan menjadi salah satu eksportir terbesar di dunia. Padahal 10 tahun lalu Amerika adalah negara importir terbesar minyak dan BBM," ujar Direktur Indonesia Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah diacara Indonesia Outlook 2015, di Hotel Borobudur, Kamis (15/1/2015).
Keberhasilan AS tersebut, kata Sammy, karena revolusi besar-besaran pada eksplorasi dan teknologi sektor hulu migas. Salah satu yang berhasil adalah pengembangan shale oil dan shale gas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisakah Indonesia meniru Amerika? Bisa. Tapi kuncinya adalah perbaiki iklim investasi hulu migas kita. Industri atau perusahaan migas di Indonesia itu tidak perlu insentif, mereka hanya ingin kepastian usaha, tidak ada kebijakan yang ambigu, saling bertentangan antara instansi pemerintah, antara pusat dan daerah, izinnya tidak dipersulit, bayangkan saja urus izin migas sampai 270 lebih izin," ungkap Sammy.
Menurutnya, dengan perbaikan sektor hulu migas di Indonesia, akan membuat banyak perusahaan berinvestasi di sektor hulu migas. Karena paling dikhawatirkan saat ini, cadangan minyak Indonesia makin kritis.
"Bayangkan kita hanya punya cadangan minyak bumi terbukti sebanyak 3,7 miliar barel saja, dan gas bumi sebanyak 100 triliun kaki kubik. Apalagi rasio penemuan cadangan dibanding produksi, angkanya di bawah 50%. Artinya setiap produksi minyak 10 barel yang ketemu cadangan baru di bawah 5 barel, ini bahaya. Kunci menambah cadangan ya eksplorasi cari ngebor sana-sini, untuk eksplorasi butuh dana, dananya dari investor, investor nggak mau investasi kalau sektor hulu migasnya terjadi disintensif, seperti sekarang ini," tutupnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi shale oil/gas Indonesia sendiri termasuk besar. Seperti potensi shale gas Indonesia diperkirakan sekitar 574 TSCF. Lebih besar jika dibandingkan CBM yang sekitar 453,3 TSCF dan gas bumi 334,5 TSCF.
Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan pemerintah, hingga saat ini terdapat 7 cekungan di Indonesia yang mengandung shale gas dan 1 berbentuk klasafet formation. Cekungan terbanyak berada di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale. Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-masing berada di 2 cekungan. Di Papua, berbentuk klasafet formation.
(rrd/dnl)