Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan, Kilang LNG Arun beroperasi pada 1974. Kilang ini menjadi tempat pengolahan gas bumi menjadi gas alam cair (LNG). Hasilnya, sebagian besar diekspor, terutama ke Jepang.
"Kemiskinan di Aceh mencapai 17%, paling banyak di Aceh Utara yang merupakan lokasi Kilang LNG Arun berada. Pemerintah Daerah mengapresiasi langkah Pemerintah Pusat yang menjadikan eks kilang ini menjadi terminal regasifikasi, sehingga manfaatnya akan sangat besar, investor akan banyak masuk ke Aceh," ungkap Zaini saat peresmian Terminal Regisifikasi LNG Arun, Senin lalu yang dihadiri Presiden Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dahulu Lhokseumawe terkenal dengan kilang seluas 2.000 hektar ini. Belum lagi aset lainnya, seperti perumahan karyawan yang luas dan bangunannya paling bagus di Lhokseumawe, sampai tersedia lapangan golf.
Kilang tersebut dibangun pada 1971, karena saat itu ditemukan salah satu lapangan gas terbesar di dunia oleh Mobil Oil Indonesia Inc (sekarang bernama Exxon Mobil), yang bekerjasama dengan Pertamina.
Pada 1974, tiga train kilang LNG Arun dibangun, dan menjadikan LNG Arun sebagai salah satu kilang LNG terbesar di dunia. Saham LNG Arun, 55% dikuasai Pertamina, Mobil Oil Indonesia Inc sebanyak 30%, dan Japan Indonesia LNG Co (JILCO) 15%. Nah, JILCO juga berposisi sebagai pembeli LNG dari kilang ini.
Namun seiring berjalannya waktu, produksi gasnya menurun, sehingga tidak ada lagi diubah bisa menjadi LNG. Terhitung sejak 10 Oktober 2014, kilang ini berhenti berproduksi.
Tak ingin aset sebesar ini menganggur sia-sia dan karatan, pemerintah menunjuk Pertamina, untuk memanfaatkan fasilitas Kilang Arun diubah menjadi Terminal Regasifikasi LNG Arun.
Apa fungsinya? Dahulu fungsi kilang ini mengubah produksi gas dari ladang gas di lepas pantai North Sumatra Offshore (NSO) milik Exxon, yang disalurkan melalui pipa gas, untuk dicairkan atau menjadi LNG. Pengubahan gas menjadi cair (LNG) ini, memudahkannya untuk diekspor ke luar negeri, salah satunya Jepang.
Tapi setelah gas dari NSO produksinya terus turun sampai tidak ekonomis lagi, Pertamina menjadikan eks kilang Arun menjadi terminal regasifikasi. Sekarang fungsinya terbalik, mengubah LNG menjadi gas bumi kembali.
LNG dari mana? Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengungkapkan, saat ini pasokan LNG berasal dari BP Tangguh di Papua. Pada 19 Februari lalu, LNG dari Papua sudah datang dan bersandar di pelabuhan eks Kilang Arun ini, sebanyak 1 kargo atau sekitar 119 meter kubik.
Pertamina juga memanfaatkan tangki-tangki timbun kondensat menjadi penampungan LNG. Tangki timbun tersebut mampu menampung 12 juta ton LNG tiap tahun, sebelum akhirnya diregasifikasi menjadi gas bumi, lalu dialirkan ke konsumen, seperti PLN dan industri.
Sehingga, teminal regasifikasi ini dapat memproduksi gas bumi sebanyak 400 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).
Dwi mengatakan, terminal regasifikasi ini menjadi solusi krisis listrik dan gas bumi di Aceh dan Sumatera Utara, yang beberapa tahun ini melanda wilayah tersebut.
Pasalnya, hampir beberapa tahun terakhir di Sumatera Utara dan Aceh mengalami krisis listrik, mati lampu hampir 3 kali lebih terjadi setiap harinya, seperti orang minum obat. Bahkan banyak industri-industri di Sumatara Utara gulung tikar, karena kekurangan bahan bakar gas.
Direktur Utama Pertagas, Hendra Jaya mengatakan, gas bumi hasil regasifikasi di Terminal LNG Arun akan dikirim melalui pipa gas trasmisi yang dibangun Pertagas, bekerjasama dengan PT Rekayasa Industri (Rekin). Pipa sepanjang 350 km dibangun ke pembangkit listrik PLN di Arun sebanyak 40 MMSCFD, dan pembangkit listrik di Belawan sebanyak 95 MMSCFD.
Kedua pembangkit tersebut selama ini terpaksa harus mengandalkan bahan bakar minyak (BBM), yang harganya 35% lebih mahal, daripada menggunakan gas bumi. Alasannya, karena tidak ada pasokan gas ke pembangkit tersebut.
Tidak hanya itu, Hendra memastikan, industri-industri di Sumatera Utara yang krisis gas bumi, dapat juga mendapatkan pasokan gas dari terminal regasifikasi ini, bila PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang memasok gas ke industri tersebut 'mengizinkan'.
"Kita minta izin dulu ke PGN, karena industri-industri ini pelanggannya PGN. Kita punya pasokan gas, kalau mau bisa kami bantu memasok tambahan gas bumi," ujar Hendra.
Namun, Presiden Jokowi masih belum puas, ia ingin memaksimalkan lagi aset bekas kilang LNG Arun ini. Jokowi meminta lahan di eks Kilang Arun yang masih sangat luas, total mencapai 2.000 hektar, ditambah lahan pabrik PT Pupuk Iskandar Muda 3.000 hektar.
Aset lahan eks kilang LNG Arun ini akan dijadikan kawasan industri. Jokowi yakin investor akan banyak yang masuk ke kawasan ini, pasalnya kebutuhan energinya akan tercukupi, termasuk listrik. Sehingga makin banyak investor yang investasi di Lhokseumawe, maka ekonomi rakyat Aceh akan berkembang pesat.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah pun sangat gembira dengan ide Jokowi ini. Pemerintah Daerah Aceh tentu akan mendorong rencana ini bisa terealisasi, apalagi ia memberi jaminan bahwa Aceh akan ramah kepada investor.
"Aceh sudah damai, Aceh tidak seram lagi, investor bisa masuk dengan aman," tegas Zaini.
Namun memang bukan jalan yang mudah untuk mewujudkan mimpi Lhokseumawe menjadi kota maju seperti kota lainnya di Indonesia, sebut saja Medan, Jakarta, Surabaya, sampai Makassar. Walau pasokan energi bagi investor dijamin, lahan masih sangat luas. Tapi masih banyak infrastuktur yang kurang berkembang di Lhokseumawe.
Sebut saja, Bandara Udara Malikus Saleh di Lhokseumawe. Landasan pacu (runway) di bandara tersebut pendek, tidak bisa didarati pesawat sekelas Boeing atau Airbus. Hanya bisa pesawat kecil terutama pesawat baling-baling.
Infrastruktur bandara lainnya, seperti bangunan bandara masih seadanya, kecil. Pukul 18.00 WIB ke atas, tidak boleh pesawat terbang atau mendarat di bandara tersebut.
Bupati Aceh Utara, Muhammad Thaib, sudah mengeluhkan kondisi ini ke Jokowi, saat Jokowi mendarat di bandara tersebut. Mendengar keluhan tersebut, Jokowi langsung menghubungi Menteri Perhubungan untuk segera memperpanjang runway menjadi 2.400 meter tahun ini juga.
Posisi bandara Malikus Saleh ini sangat penting. Selama ini masyarakat yang ingin ke Lhokseumawe bisa melalui Bandara Kualanamu (Medan) atau Bandara Sultan Iskanda Muda (Banda Aceh). Tapi hanya ada satu rute penerbangan setiap harinya.
Karena pesawat yang menuju Lhokseumawe kapasitasnya tak lebih dari 30-50 penumpang, sehingga rute jalur udara sangat terbatas.
Bagi masyarakat yang ingin ke Lhokseumawe, misalnya dari Medan, bisa menempuh jalur darat berjarak 350 km. Walau jalannya kondisinya baik, tapi cukup sempit, sehingga perjalanan memakan waktu hampir 12 jam.
Ada rute lain, misalnya dari Banda Aceh-Lhokseumawe, jalur darat ini sedikit lebih pendek, dan lebih sepi lalu lintas kendaraannya. Lewat jalur ini, perjalanan Aceh ke Lhokseumawe diperkirakan memakan waktu 4-5 jam.
Jokowi punya perhitungan sendiri. Bila bandara diperluas, maka memudahkan masyarakat termasuk calon investor menuju Lhokseumawe.
Bahkan di daerah ini sudah tersedia pelabuhan yang sudah terbangun dan masih 'mulus'. Namun masih sedikit kapal yang bersandar di pelabuhan itu. Satu alasannya, karena kapal yang ke Lhokseumawe balik dalam keadaan kosong, tak ada yang diangkut baik penumpang maupun barang.
Bila jaminan pasokan energi terpenuhi, lahan untuk industri terjamin, listrik menggunakan gas bumi (PLTG) tersedia, bandara infrastrukturnya bagus, pelabuhan tersedia juga, semoga tinggal menunggu waktu. Lhokseumawe yang dulu terkenal penghasil LNG, akan berubah menjadi menjadi kota industri.
Mengutip ucapan Wakil Presiden Jusuf Kalla, untuk menjadi negara maju atau kota yang maju, harus mendorong negara menjadi daerah industri.
(rrd/dnl)