Seperti cerita David, warga Desa Kemanggih. Selama 2-3 tahun terakhir, ia dan 20 kepala keluarga (KK) lainnya dapat menikmati listrik dengan mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) atau angin.
"Sebulan hanya bayar Rp 20.000-30.000 ke koperasi. Uang itu sebagai biaya bersama bila ada kerusakan dan perawatan PLTB," kata David ketika dikunjungi Menteri ESDM Sudirman Said, Rabu (8/4/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebelumnya selama puluhan tahun kita gelap gulita. Kalau malam ya tidur saja," ujarnya.
Selain listrik, warga di Desa Kamanggih juga mandiri energi untuk memasak dengan mengandalkan biogas yang berasal dari kotoran hewan. Salah satunya yang sudah dilakukan Agustina yang memanfaatkan kotoran ternak untuk dijadikan biogas.
"Tidak bayar kalau gasnya habis, tinggal tambah satu ember kotoran sapi setiap harinya. Bebas memasak tiap hari, apinya juga biru," katanya.
Bahkan untuk bahan bakar kendaraan, warga pun memilih menggunakan bioetanol yang berasal dari pohon lontar, singkong, atau jagung. Apalagi jagung merupakan makanan pokok masyarakat di Sumba.
"Kita olah jagung dan singkong untuk jadi bioetanol, jadi tidak perlu bingung cari BBM. Cari SPBU apalagi di pelosok seperti di Kamanggih nggak ada," ujar Martin warga Desa Kamanggih.
Pemerintah sendiri menargetkan pada 2020-2025 seluruh kebutuhan energi di Pulau Sumba dipenuhi dari energi baru terbarukan. Saat ini, sudah 20,5% kebutuhan energi di mengandalkan energi baru terbarukan.
(rrd/hds)