"Pencemaran limbah di Sungai Citarum membuat Waduk Saguling menjadi septic tank terbesar di dunia. Limbah yang terdiri dari limbah industri, rumah tangga, sampah dan peternakan itu berpotensi mengganggu turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Saguling," tulis PT Indonesia Power yang dikutip detikFinance, Senin (29/6/2015).
Indonesia Power adalah anak usaha PT PLN (Persero) selaku pengelola waduk dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling kapasitas 700 megawatt (MW).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampah dari empat daerah yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat tiap harinya masuk Waduk Saguling hasil bawaan anak-anak sungai di aliran Sungai Citarum. Hasilnya, Saguling tercemar limbah organik dan anorganik. Sedimen Saguling di antaranya mengandung logam merkuri, kadmium, dan timbal.
"Jangan jadikan Saguling itu menjadi tempat sampah," ujar Indra Darmawan, aktivis lingkungan peduli Sungai Citarum, saat berbincang dengan detikFinance.
Kebiasan perilaku masyarakat membuang sampah ke sungai, Indra mengatakan, harus segera berakhir. Sebab, dia menjelaskan, pencemaran limbah industri dan rumah tangga mengakibatkan penurunan kualitas air dan sedimentasi sungai. Menurut Indra, pemerintah juga harus tegas dan komitmen dalam melaksanakan kebijakan pro lingkungan Sungai Citarum.
Maka itu, sambung Indra, masalah Waduk Saguling menjadi tanggung jawab bersama. Saguling bukanlah 'septictank'. Tentunya harus secara serius menyelamatkan Saguling demi mengembalikan lagi fungsinya. "Perlu peranan semua pihak lintas sektoral untuk memperbaiki Citarum mulai dari hulu hingga hilir. Saya prihatin dengan kondisi Saguling yang 'sekarat' akibat sedimentasi," tutur Indra yang berdomisili di Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.
Raden Bagja, Salah seorang warga Lembang, Kabupaten Bandung Barat, turut menyuarakan suara keprihatinan terhadap kondisi Waduk Saguling. Revitalisasi dan normalisasi Saguling tak hanya seremonial belaka.
"Diharapkan dengan adanya normalisasi di sepanjang bantaran Waduk Saguling bisa meminimalkan sedimentasi. Sehingga usia pakai Waduk Saguling sesuai dengan hitungan teknis, bukan sebaliknya malah mempercepat masa pakai," kata Raden.
Menurut Raden, bukan hanya tugas pemerintah dan pengelola Waduk Saguling untuk menyukseskan normalisasi. Pegawai swasta ini menegaskan, harus ada partisipasi masyarakat terlibat mencintai dan melestarikan lingkungan. "Ajak masyarakat di sepanjang bantaran Saguling turut terlibat dalam pemeliharannya. Selain itu, keberadaan Sungai Citarum dan anak-anak sungainya harus benar-benar diperhatikan," tutur Raden.
Kepala Subdit OP Bendungan, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Joko Mulyono, mengatakan untuk memperpanjang usia waduk, pihaknya melakukan pengerukan dan pembesihan waduk.
"Kalau yang struktural itu ada beberapa tahap dari mulai pembersihan sampai pengerukan.β Ada wacana pengerukan di beberapa tempat. Tapi masih proses studi tahun ini. Kalau pengerukan kita pernah lakukan di NTB di Bendungan Batu Jae dan di Cengklik-Bengawan Solo," kata Joko.
Ia mengungkapkan, rata-rata usia waduk di Indonesia umumnya di atas 50-100 tahun. "Jadi kalau sudah melewasi usia bendungan, lebih dari 50 tahun misalnya dan sedimentasinya benar-benar sudah menutup mulut bendungan, itu bisa dilakukan penutupan fungsi bendungan," ujar Joko.
(bbn/rrd)