Cerita PLN yang Terpaksa Pakai Pembangkit Listrik Solar Untuk Perbatasan

Cerita PLN yang Terpaksa Pakai Pembangkit Listrik Solar Untuk Perbatasan

Michael Agustinus - detikFinance
Kamis, 27 Agu 2015 08:03 WIB
Ambon - Di ulang tahun ke-70 kemerdekaan Republik Indonesia, PT PLN (Persero) membangun pembangkit-pembangkit listrik baru untuk 'menerangi' 50 pulau terdepan dan daerah perbatasan, 12 pulau di antaranya berada di wilayah Maluku-Maluku Utara.

Semua pembangkit yang dibangun adalah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar.

Meski biaya produksi listriknya relatif mahal dan membuat ketergantungan pada energi fosil makin besar, PLN tetap memilih PLTD untuk melistriki pulau-pulau terluar dan daerah perbatasan. Apa alasannya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

General Manager PLN Wilayah Maluku-Maluku Utara, M Ikhsan Asaad, menjelaskan PLTD dipilih karena dapat dibangun dengan cepat dan biaya investasinya relatif murah. Pulau-pulau terluar dan daerah perbatasan sudah puluhan tahun gelap gulita, PLN harus cepat membangun pembangkit untuk mereka. Daya listrik yang dapat dipasok PLTD juga relatif besar.

"Pertimbangan utama karena cepat. Kalau bangun PLTS mahal dan kapasitasnya nggak bisa besar. Padahal listrik sangat perlu untuk segera mendorong ekonomi di situ (pulau terluar dan perbatasan)," ujar Ikhsan kepada detikFinance, di kantornya, Ambon, Rabu (26/8/2015).

Dia mengakui, biaya produksi listrik dari PLTD amat mahal. Apalagi wilayah Maluku-Maluku Utara merupakan kepulauan yang infrastrukturnya tidak sebagus Jawa atau Sumatera, sehingga biaya distribusi solar mahal, mencapai Rp 2.000/liter.

Rata-rata biaya produksi listrik dari PLTD mencapai Rp 3.600/kWh. Dibanding dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), biaya untuk mengoperasikan PLTD tergolong sangat tinggi meski biaya investasi PLTS mencapai 3 kali lipat PLTD.

Menurut perhitungannya, biaya pembangunan PLTS dengan daya 1 MW mencapai Rp 30 miliar, sedangkan PLTD hanya Rp 10 miliar. Tetapi, biaya operasi PLTD mencapai Rp 240 juta per bulan, sementara PLTS hanya Rp 12 juta alias 5 persennya saja.

"Kalau PLTS 1 MW biaya investasi 30 miliar, PLTD 1 MW 10 miliar. Tapi biaya operasi PLTS, bayar karyawan hanya Rp 10 juta, perawatan Rp 1 juta untuk air aki, total Rp 12 juta/bulan. Kalau PLTD operasional sebulan 240 juta," paparnya.

Namun, membangun PLTS bukan pekerjaan mudah. Hampir tidak ada pihak swasta yang mau membangunnya, karena harga yang dipatok pemerintah untuk listrik dari PLTS terlalu murah. Selain itu, semua komponen PLTS masih harus diimpor, harganya tentu menjadi sangat mahal ketika dolar naik seperti saat ini.

"Komponen PLTS semuanya impor. Kalau dolar naik jadi mahal sekali," ucap Ikhsan.

Daya listrik yang dapat dipasoknya pun terbatas. PLTS di Pulau Morotai contohnya, hanya mampu memasok 600 kilowatt (KW), jauh dibandingkan dengan PLTD di Pulau Saumlaki yang dayanya sampai 3.000 KW. "PLTS di Morotai cuma 600 KW, tidak bisa buat menghidupkan cold storage, televisi, dan kulkas," ujarnya.

Walau demikian, PLN tetap memaksimalkan energi terbarukan yang sumber-sumbernya tersedia melimpah di Maluku-Maluku Utara. Misalnya di Pulau Seram akan dikembangkan pembangkit listrik tenaga air sebesar 2 x 75 megawatt (MW), pembangkit dari tenaga angin 10 MW di Ambon, pembangkit dari mikro hidro 40 KW di Tual, dan sebagainya agar ketergantungan pada BBM bisa dikurangi.

Energi terbarukan akan dimaksimalkan, untuk memenuhi kebutuhan listrik di pulau-pulau yang kecil dan relatif sedikit penduduknya. Sedangkan di pulau-pulau besar seperti Ambon, gas bumi akan menggantikan peran BBM.

"Kami siapkan juga PLTG berkapasitas 50 MW di Ambon. Gasnya LNG dari Bontang. Ke depan, pulau-pulau besar yang penduduknya banyak akan kita bangun PLTG. Yang (pulau) kecil-kecil pakai energi terbarukan," tutup Ikhsan.

(dnl/dnl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads