Menyikapi rencana pembentukan agregator gas, Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengumpulkan para ahli gas bumi dalam sebuah diskusi untuk membahas kelebihan dan kekurangan agregator gas. Dalam diskusi juga disinggung soal banyak trader gas yang berbisnis hanya bermodal kertas tapi tak bangun infrastruktur.
Dalam diskusi tersebut, dipaparkan hasil kajian dari Deendarlianto, Adhika Widyaparaga, Irine Handika, dan Mailinda Eka Yuniza selaku pakar peneliti kluster gas bumi dari UGM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
- Single aggregator supply demand,
- Aggregator demand
- Aggregator kewilayahan.
"Yang paling cocok untuk Indonesia yang dapat mengurangi disparitas harga dan mendorong pembangunan infrastruktur, adalah format aggregator supply nasional terpisah dari aggregator demand nasional," kata Kepala Pusat Studi Energi UGM, Deendarlianto, dalam keterangannya, Rabu (16/9/2015).
Deendarlianto mengatakan, sebenarnya tujuan dibentuknya agregator gas adalah untuk menjamin ketersediaan energi bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau, serta bisa menjamin keamanan pasokan.
"Karena kalau kita mengacu draft kebijakan energi nasional, menyatakan bahwa energi adalah modal dasar pembangunan, bukan merupakan sebuah bentuk penghasil negara lagi," katanya.
Deendarlianto menambahkan, pihaknya mendorong perang swasta untuk ikut membangun infrastruktur gas. Peran swasta selama ini dalam industri gas sebenarnya tidak terlalu banyak bermain.
"Levelnya hanya trader-trader saja kan. Kita tidak ingin itu terjadi. Kalau pun (swasta) bermain di Local Distrbution Company (LDC), coba kembangkan infrastrukturnya juga. Artinya berbisnis tidak hanya modal kertas tapi bermodal teknologi dan infrastruktur," sambung Deendarlianto.
Irine Handika menambahkan, peran aggregator supply terbatas hanya mengumpulkan gas, sementara agregator demand untuk bagian penyaluran gas kepada pengguna dan terakhir.
"Untuk level lokal akan ada LDC. Peran LDC bisa diambil alih oleh BUMD maupun BUMN, tergantung siapa yang mampu. Tidak perlu khawatir perannya akan hilang jika diberlakukan konsep agregator gas," tambah Irine.
Selain membahas agregator gas, dalam diskusi tersebut juga dibahas intensif mengenai konsep tata kelola hilir gas bumi.
Diskusi ini juga bermaksud untuk mensosialisasikan lebih dalam konsep dan usulan dari Pusat Studi Energi UGM mengenai pengelolaan gas bumi di sektor hilir dari sisi teknis dan hukum.
Dalam diskusi yang diadakan UGM ini, juga dihadiri Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM, Paripurna P. Sugara, anggota Komisi VII Harry Purnomo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran, Seketaris Dirjen Migas Susyanto, Deputi Perundang-undangan Kementerian Sesneg Muhammad Saptamurti.
Hadir pula pada diskusi tersebut Guru Besar Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, perwakilan Pertamina, PGN, SKK Migas dan Indonesia Petroleum Association (IPA) dan banyak lagi stakeholder lainnya. Acara ini berlangsung di Hotel Aryaduta, Jakarta dari 10-11 September 2015.
(rrd/hen)











































