"Potensi thorium di Indonesia, kalau uranium 70.000 ton, thorium 3-4 kali lipatnya, 210.000-280.000 ton. Itu kisaran, belum sampai kita dalami," kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Cadangan thorium sebanyak 280.000 ton tersebut tersebar di Pulau Bangka, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Sulawesi Barat (Sulbar). "Thorium ada di daerah dimana ditemukan unsur tanah jarang, ada di pasir monasit, biasanya ada di Vietnam, Semenanjung Malaysia, Bangka, Kalbar, Kalteng, dan di Mamuju Sulbar," ujar Djarot.
Namun cadangan ini masih belum dapat dihitung menjadi energi listrik. "Sulit untuk diukur berapa jika dikonversi menjadi listrik," dia menambahkan.
Saat ini belum ada satu pun negara di seluruh dunia yang sudah menggunakan thorium untuk pembangkit listrik, teknologinya masih dalam tahap penelitian. Thorium juga tak bisa berdiri sendiri sebagai bahan bakar, harus dicampur dengan uranium.
"Belum ada yang menerapkan PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) secara full. Thorium tidak bisa berdiri sendiri tanpa uranium. Dia butuh uranium sebagai inisiator. Tapi ini sudah diteliti dan masih diteliti banyak negara. Tantangannya bagaimana membuatnya siap menjadi bahan bakar," paparnya.
Thorium masih membutuhkan penelitian yang panjang, belum dapat segera digunakan. Tetapi thorium memang sumber energi yang prospektif untuk masa depan. Biaya listrik yang dihasilkannya diperkirakan hanya US$ 6-8 sen/kWh. Karena itu Indonesia harus mulai mengembangkannya.
"Listriknya kira-kira US$ 6-8 sen per kWh. Relatif lebih murah dibanding batubara. Ini sangat menjanjikan untuk masa depan. Indonesia harus melakukan penelitiannya dan itu tugas BATAN," tutupnya. (hns/hns)