Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Djarot Sulistio Wisnubroto, mengungkapkan bahwa 90% bahan bakar thorium akan bereaksi menghasilkan listrik, sedangkan uranium hanya 3%-5%, sehingga limbah radio aktif yang dihasilkan thorium jauh lebih kecil.
"Limbahnya lebih sedikit dari uranium, tapi memang punya radio aktif. PLTN 1000 MW itu menghasilkan 300 meter kubik limbah radio aktif per tahun, 5% limbahnya usianya panjang. Kalau thorium yang limbahnya usianya panjang lebih rendah, kurang dari 5%, di bawah 300 meter kubik juga," kata Djarot dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, listrik yang dihasilkan thorium relatif murah, kurang lebih US$ 6-8 sen/kWh, sama dengan listrik dari PLTN berbahan bakar uranium. "US$ 6-8 sen per kWh. Relatif lebih murah dibanding batubara. Ini sangat menjanjikan untuk masa depan," tukas dia.
Pakar thorium dari International Atomic Energy Agency (IAEA), Matt Krauser, menambahkan bahwa cadangan thorium jauh lebih besar dibandingkan uranium, kurang lebih 3-4 kali lipat cadangan uranium di seluruh dunia. "Ketersediaannya lebih besar dari uranium, 3-4 kali lipat," ucapnya.
Thorium juga lebih stabil dibanding uranium, hanya saja penggunaannya lebih sulit. "Dari sisi sifat fisiknya jauh lebih bagus dari uranium. Titik leburnya lebih tinggi, memang lebih rumit pengolahannya, tapi lebih stabil sifatnya. Thorium bisa dimanfaatkan dalam waktu lebih panjang," tukas dia.
Biaya untuk pengembangan dan penggunaan thorium kurang lebih sama dengan uranium, tergantung pada teknologi yang digunakan. "Biayanya hampir sama dengan uranium, sekarang tergantung teknologi yang akan dipilih," tutupnya. (hns/hns)