RI Masih Minim Manfaatkan Energi Terbarukan

RI Masih Minim Manfaatkan Energi Terbarukan

Bagus Kurniawan - detikFinance
Selasa, 16 Feb 2016 17:28 WIB
RI Masih Minim Manfaatkan Energi Terbarukan
Foto: Bagus Kurniawan (detik.com)
Yogyakarta - Indonesia masih minim memanfaatkan energi terbarukan. Padahal sumber energi fosil seperti minyak bumi, batu bara dan gas akan habis dalam beberapa waktu ke depan. Sementara itu di masa depan Indonesia dengan negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia ini juga bakal mengalami krisis energi.

Hal itu diungkapkan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional, Prof Dr Djarot S. Wisnubroto, saat peringatan Hari Pendidikan Tinggi Teknik (PTT) di Fakultas Teknik (FT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (16/2/2016).

"Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) tidak pernah beranjak dari apa yang dilakukan 10 tahun lalu. Pemanfaatan tenaga air baru berkisar 10,10% dari sumber dayanya, panas bumi 4,8% biomassa 3,3%. Demikian pula dengan energi surya, angin, dan samudera juga masih sangat kecil," papar Djarot.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan data Kementrian ESDM, lanjut dia, cadangan minyak Indonesia akan habis dalam 12 tahun ke depan, cadangan batu bara proven mampu bertahan hingga 22 tahun, dan gas akan habis dalam 36 tahun mendatang.

Menurut Djarot, Indonesia akan mengalami kesulitan untuk mencapai target 23% penggunaan EBT pada tahun 2025 apabila hanya mengandalkan pada energi terbarukan saja. Karenanya, perlu pengembangan PLTN guna mencukupi kebutuhan energi masa depan.

"PP No. 79 tahum 2014 mencanangkan target 115 Gwe tahun 2025 yang berarti perlunya pembangunan pembangkit rata-rata 6,2 Gwe per tahun," katanya.

Menurutnya bila melihat kemampuan PLN dan pihak swasta lainnya, akan terjadi kondisi sekitar 26% kebutuhan energi yang tidak terpenuhi di tahun 2025. Hal ini menjadikan perlunya mempertimbangkan pembangunan PLTN yang memiliki karakteristik berdaya besar 1.000-1.400 MW/unit.

Djarot mengatakan salah satu tantangan utama program PLTN adalah masih adanya keraguan dari sebagian masyarakat terhadap kemampuan Indonesia dalam mengelola teknologi nuklir. Namun, dengan pengalaman selama 40 tahun Indonesia telah memiliki infrastruktur yang memadahi unuk membangun PLTN.

Menurut Djarot, Indonesia lebih siap dibandingkan dengan Vietnam, negara pertama yang akan mempunyai PLTN di Asia Tenggara, yang mengkaji program nuklir sejak tahun 1995. Namun yang menjadi persoalan selanjutnya adalah terkait cadangan uranium dalam mendukung pengembangan PLTN.

Menurut perhitungan ekonomi operasi PLTN tidak lebih dari 14 persen dari total pembiayaan operasi PLTN. Dengan demikian fluktuasi harga uranium tidak banyak berpengaruh terhadap harga listrik.

"Uranium bersifat unik, bisa dikatakan sebagai bahan bakar tidak habis pakai. Namun ada banyak negara yang mengoperasikan PLTN, tetapi tidak menghasilkan sendiri uranium. Ini juga memiliki posisi unik. Mereka tetap mempunyai sisa uranium dan bahan nuklir baru plutonium," katanya.

Dia menambahkan saat ini Indonesia memiliki potensi uranium hingga 70 ribu ton di sejumlah wilayah seperti di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat.

(bgs/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads