Seperti diketahui, dalam sistem Profit Sharing Contract (PSC/kontrak bagi hasil) migas yang dianut Indonesia, perusahaan-perusahaan migas yang berperan sebagai KKKS mendapat bagian migas sebesar 15%, ditambah biaya-biaya yang dikeluarkannya untuk memproduksi minyak (cost recovery). Sisanya adalah bagian negara.
Menanggapi hal tersebut, para KKKS yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA) menyatakan, hasil pemeriksaan BPK masih harus diklarifikasi lagi, belum dapat disimpulkan ada penerimaan negara Rp 4 triliun yang hilang, akibat biaya-biaya yang harusnya tidak diklaim sebagai cost recovery.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemeriksaan BPK adalah 1 proses, ada banyak klarifikasi yang harus dilakukan oleh auditor. Jadi kalau ada perbedaan apa yang boleh diklaim sebagai cost recovery atau tidak, ada proses agak panjang. Kebanyakan temuan BPK belum final, sebaiknya jangan langsung diambil 1 kesimpulan," kata Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong, dalam jumpa pers di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Jumat (15/4/2016).
Dia menambahkan, peraturan-peraturan yang ada sudah mengatur jelas biaya apa saja yang boleh dimasukan sebagai cost recovery, tidak sembarang pengeluaran boleh dimasukan. SKK Migas juga sudah mengontrol ketat semua pengeluaran KKKS, maka sangat sulit untuk melakukan penggelembungan (mark up) cost recovery.
"Sebenarnya dalam sistem PSC sudah sangat ketat apa yang boleh diklaim atau tidak. Ada approval (dari SKK Migas) secara resmi untuk mengeluarkan setiap biaya. Kalau penggelembungan, menurut saya sulit," ucapnya.
Jika setelah diklarifikasi ternyata memang ada biaya yang harusnya tidak masuk cost recovery, negara bisa meminta kompensasi kepada KKKS, tinggal memotong migas bagian KKKS dan dialihkan menjadi bagian negara. Dengan begitu, uang negara tidak hilang. "Kalau auditor masih melihat ada perbedaan setelah klarifikasi, ada sistemnya, semua sudah diatur," pungkasnya. (wdl/wdl)











































