Menilai bahwa pada dasarnya konsumsi listrik tersebut masih bisa ditekan, BPPT pun memiliki program audit energi. Audit ini menyasar konsumen dari kalangan industri, bisnis, hingga rumah tangga.
Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi BPPT Andhika Prastawa menerangkan, konsumsi listrik tertinggi nasional adalah dari konsumen rumah tangga sebesar 84,086 ribu GWh (42,34%), disusul pelanggan industri 65,9 ribu GWh (33,19%), bisnis 36,28 ribu GWh (18,27%), dan lainnya 12,32 ribu GWh (6,21%).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami punya laboratorium uji untuk peralatan-peralatan hemat energi yang memang sudah jadi laboratorium standar bagi Kementerian ESDM yang bergerak di bidang penghematan energi," terangnya.
Sebelum dilempar ke pasar, BPPT akan memberi label produk mana saja yang memiliki efisiensi energi tinggi. Sejauh ini yang sudah diterapkan adalah pelabelan untuk lampu.
Lampu sendiri adalah produk elektronik tertinggi kedua setelah kulkas yang memakan listrik terbesar dari sektor rumah tangga, yakni sebesar 7%.
"Hasil penelitian awal kami menunjukkan estimasi penghematan energi dari sektor rumah tangga dengan pemberlakuan label tersebut, yakni sekitar 3-5% atau 2.500 GWh. Jika harga listrik dari sektor ini rata-rata Rp 940/kWh, maka total biaya yang bisa dihemat adalah Rp 2,3 triliun per tahun," tutur Andhika.
Andhika menyebut, untuk sektor industri BPPT memiliki tim audit konsultasi penghematan energi yang kredibel dan hasil analisanya dapat dipercaya.
Beberapa perusahaan yang telah diajukan audit energi antara lain PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), PT Pertamina (Persero), PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT Nipon Shokuban Indonesia, PTPN IV, dan lain-lain.
"Sebagai gambaran, pada sektor industri jika upaya minimal (low investment cost) diterapkan, maka akan memberikan penghematan 5% di 2014. Harus teurs diperkenalkan peralatan yang hemat energi dan manajemen penggunaan energi listrik untuk sektor industri," jelas Andhika.
"Upaya audit yang dilakukan secara menyeluruh untuk sektor industri dan rumah tangga saja, berpotensi menunda kebutuhan pembangunan pembangkit listrik baru sebesar 6.951 MW," imbuhnya. (rna/ang)











































