Itu setara dengan Rp 2.440-2.915/kWh (dengan asumsi kurs dolar Rp 13.000). Tarif yang tinggi ini dibuat supaya investor tertarik mengembangkan PLTSa di Indonesia. Sebagai pembanding, harga listrik dari batu bara yang hanya Rp 800-900/kWh.
Sedangkan tarif yang dikenakan PLN kepada para pelanggannya rata-rata Rp 450-1.350/kWh. Apakah PLN tidak rugi bila harus membeli listrik dari pengembang PLTSa seharga Rp 2.440-2.915/kWh lalu menjualnya ke pelanggan dengan harga Rp 450-1.350/kWh?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi, menurutnya, ini tidak akan menjadi masalah besar. Beban yang ditanggung PLN tak akan terlalu berat karena jumlah listrik dari PLTSa tak sampai 100 MW.
"Kita nggak menganggarkan (dana talangan untuk selisih harga yang harus dibayar PLN). Tapi kalau PLTSa di 7 kota ini jadi pun hanya 70-80 MW sudah habis sampahnya, nggak sampai 100 MW. Listrik yang dikelola PLN itu sekarang saja 50.000 MW lebih. Kalau menimbulkan cost tambahan buat PLN, berapa sih?" ujar Rida usai konferensi pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (3/5/2016).
Dia menambahkan, listrik yang diperoleh memang tidak seberapa, hanya 10-20 MW untuk setiap kota. Manfaat sebenarnya dari PLTSa adalah membuat kota menjadi bebas dari polusi, bau, dan tumpukan sampah.
"Poinnya bukan listriknya, yang penting kota bersih dulu, habiskan dulu sampahnya, listrik itu bonus," Rida menjelaskan.
Feed in Tariff yang tinggi untuk listrik dari sampah dibuat supaya pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) yang membangun PLTSa berupaya menghabiskan sampah sebanyak mungkin untuk diolah menjadi listrik.
"Agar sampah cepat habis, maka diiming-imingi tarif. Angka itu jangan dipandang sebagai pemborosan untuk PLN tapi insentif untuk mempercepat pengolahan sampah," tutupnya. (ang/ang)