Revisi aturan tentang biaya operasi yang dapat diganti (cost recovery) dan pajak di bidang hulu migas ini memang tengah dikebut. Tujuannya untuk membuat iklim investasi di industri hulu migas nasional menjadi lebih menarik.
"Sudah, tinggal saya baca hari ini, Senin saya tanda tangan dan kita beri ke Presiden," kata Luhut, saat ditemui di City Plaza, Jakarta, Jumat (26/8/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu (pajak) yang kita bicarakan, sekaligus nanti kita bicara sama orang pajak hari Senin, mudah-mudahan tidak terlambat. Saya kira minggu depan selesai semua itu," ujarnya.
Pajak-pajak yang akan dipangkas di antaranya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Menurut Luhut, pengeboran untuk eksplorasi migas, apalagi di tengah laut, harusnya tak dikenai PBB.
"Macam-macam (yang dihapus). PPN, PBB. Masak di tengah laut bayar PBB juga? Apalagi di laut dalam, saya kira nggak perlu lah. Jadi kita jangan di awal sudah mencekik orang. Biar dia produksi dulu, baru kita pajakin," tegasnya.
Diharapkan revisi PP No. 79/2010 yang memangkas pajak di hulu migas dapat meningkatkan kegiatan eksplorasi, untuk menemukan cadangan-cadangan minyak baru. Sebab cadangan minyak Indonesia yang terbukti (proven reserve) saat ini tinggal 3,6 miliar barel.
Cadangan minyak ini umumnya berada di daerah-daerah terpencil, laut dalam, dan terpencar lokasinya. Harga minyak yang rendah membuat kondisi semakin buruk karena eksplorasi migas di Indonesia jadi makin tak ekonomis.
Dengan kebutuhan mencapai 300 juta barel per tahun, maka minyak Indonesia akan habis dalam waktu 12 tahun lagi bila tidak ada penemuan cadangan baru.
"Memang dari tingkat cadangan sudah turun, sekarang kita mau tingkatkan eksplorasi lebih banyak, salah satu caranya kita revisi PP 79 agar orang lebih tertarik mencari minyak di laut dalam," tutup Luhut. (wdl/wdl)











































