Ada sekitar 60 perusahaan trader gas di Indonesia, tapi hampir semuanya tak punya infrastruktur, hanya bertindak sebagai calo pemburu rente saja tanpa modal.
Mereka mendapat alokasi gas, lalu menjualnya ke trader lain karena tak punya pipa untuk menyalurkan gas, dan begitu seterusnya hingga ke pembeli akhir. Trader ini membuat rantai pasokan gas menjadi panjang, harga gas di Indonesia menjadi tidak efisien.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PT Pertamina (Persero), perusahaan migas nasional Indonesia, mengakui bahwa penjualan gas tak selalu langsung ke industri, ada juga yang melalui trader dulu baru ke industri. Gas dari Pertamina pun ada yang dijual ke trader dulu baru ke industri.
Dari total volume gas sebanyak 600 MMSCFD di Jawa Barat yang dijual PT Pertagas, anak usaha Pertamina yang bergerak di sektor hilir gas bumi, 5 MMSCFD di antaranya dijual ke trader.
"Volume total gas yang diniagakan Pertagas untuk wilayah Jawa Barat hanya 5 MMSCFD, 1% dari total volume gas yang diniagakan di Jabar sebesar 600 MMSCFD," kata VP Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, melalui pesan singkat kepada detikFinance di Jakarta, Sabtu (3/9/2016).
Wianda menambahkan, hanya sedikit gas yang dijual Pertamina via trader. Selebihnya dijual langsung ke konsumen akhir seperti PLN, industri, dan pupuk.
"Penjualan ke trader tidak banyak dan dapat dipastikan dengan harga yang bersaing. Hampir semua gas yang dikelola Pertamina dijual langsung pada konsumen akhir," tuturnya.
Penjualan melalui perantara, sambungnya, dilakukan karena Pertamina membutuhkan perusahaan yang dapat membantu penyaluran gas dari pipa transmisi ke pelanggan-pelanggan.
"Tidak semua pengguna akhir memiliki pipa distribusi, maka harus dicari jalan infrastruktur untuk memasok hingga pelanggan," tutup Wianda.
Penjualan melalui perantaraan trader tidak menyalahi aturan karena Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009 mengizinkan hal tersebut. Semua perusahaan yang memegang izin usaha niaga, meski tak punya pipa, boleh melakukan jual beli gas. (hns/hns)