Cost recovery adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan yang menjadi kontraktor kontra kerja sama (K3S) migas untuk eksplorasi maupun produksi, dan biaya ini diganti pemerintah. Dalam APBN-P 2016, cost recovery dianggarkan sebesar US$ 11,6 miliar.
Luhut meminta SKK Migas memangkasnya menjadi US$ 10,4 miliar karena banyak biaya yang bisa diefisienkan. Dalam 2 minggu, harus sudah diperoleh penghematan sebesar US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 15,6 triliun (kurs US$ 1= 13.000).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekretaris SKK Migas, Budi Agustyono, mengungkapkan bahwa pemangkasan cost recovery tentu berpengaruh pada kegiatan eksplorasi dan produksi migas yang dilakukan para KKKS.
"Kalau dipangkas, berarti ada rencana kerja yang tidak dikerjakan," kata Budi saat ditemui di sela-sela rapat dengan Komisi VII DPR, Jakarta, Kamis (22/9/2016).
Dirinya khawatir para KKKS mengurangi investasi untuk pencarian cadangan minyak baru di Indonesia. "Kalau rencana kerja dipotong, harusnya bikin work over, whell service untuk 100 sumur, lalu dikurangi," ucapnya.
Budi belum dapat merinci biaya-biaya apa saja yang dapat dipangkas dalam cost recovery. Work Program and Budget (WP&B) perusahaan-perusahaan hulu migas baru mulai disusun awal Oktober. Dari WP&B itu akan diketahui biaya mana saja yang dapat dikurangi.
"Pengajuan WP&B baru dimulai 5 Oktober, saya belum bisa bicara apa yang bisa dipangkas," ucapnya.
Dia menambahkan, target lifting minyak sebesar 815.000 barel per hari (bph) dan gas bumi 1,1 juta barel oil equivalent per day (boepd) akan sulit dicapai. Sebab, banyak program yang dihapus sejalan dengan pemangkasan cost recovery.
Menurut perkiraan SKK Migas, butuh cost recovery sebesar US$ 13-14 miliar agar target lifting 2017 dapat tercapai. "Kalau perkiraan kita, WP&B tahun depan sekitar US$ 13-14 miliar. Kalau US$ 10,4 miliar, program menyesuaikan budget," tutupnya. (hns/hns)











































