Sri Mulyani dan Luhut Sepakat Rombak Aturan Cost Recovery dan Pajak Migas

Sri Mulyani dan Luhut Sepakat Rombak Aturan Cost Recovery dan Pajak Migas

Michael Agustinus - detikFinance
Jumat, 23 Sep 2016 16:23 WIB
Foto: Maikel Jefriando
Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman, sekalihus Plt Menteri ESDM Luhut Panjaitan sepakat merombak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010. Beleid ini mengatur tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dan perpajakan bagi industri hulu minyak dan gas bumi (migas).

Sri Mulyani menjelaskan, PP ini dirombak untuk memperbaiki iklim investasi hulu migas di Indonesia.

"Kenapa PP ini perlu direvisi? Pertama untuk posisi Indonesia dalam kegiatan eksplorasi minyak. Kalau kita lihat dari sisi efisiensi, jumlah sumur, biaya eksplorasi Indonesia kurang kompetitif. Bahkan saat harga minyak sangat tinggi, produksi Indonesia tidak meningkat. Jadi ada pertanyaan dari sisi insentif dan bagaimana pemerintah memperlakukan industri di hulu minyak ini," papar Sri dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (23/9/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat ini industri hulu migas Indonesia kurang menarik karena risikonya besar, cadangan migas yang besar umumnya ada di laut dalam, sementara tingkat pengembalian investasi (Investment Rate Return/IRR) kurang ekonomis. Dibanding negara-negara tetangga seperti Myanmar, Filipina, Malaysia, Indonesia masih kalah atraktif.

Akibatnya, investor malas mencari cadangan migas baru di Indonesia. Produksi migas nasional pun terus menukik turun. Kalau tak ada upaya dari pemerintah, cadangan migas Indonesia akan segera habis, diperkirakan produksi minyak Indonesia tinggal 480.000 barel per hari (bph) pada 2020.

"2016 ini dari 800 ribu bph bisa menjadi 480 ribu bph di 2020 kalau tidak ada upaya," ucap Sri.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah penurunan tajam produksi migas itu adalah merevisi PP 79/2010. Ada beberapa pokok perubahan dalam revisi PP 79/2010.

Pertama, pemerintah memberikan fasilitas perpajakan pada masa eksplorasi. Berbagai pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, Bea Masuk, PPN dalam negeri, dan Pajak Bumi Bangunan (PBB) dihapus. "PPN, Bea Masuk, PBB akan masuk fasilitas perpajakan ditanggung pemerintah," turur Sri.

Kedua, ada juga fasilitas perpajakan pada masa produksi (eksploitasi), yaitu pembebasan PPN impor, Bea Masuk, PPN dalam negeri, dan PBB. "Kita beri fasilitas perpajakan pada masa produksi. PPN dalam negeri, PPN impor, Bea Masuk, PBB," tukasnya.

Ketiga, kontraktor migas diberi pembebasan PPH Pemotongan atas Pembebanan Biaya Operasi Fasilitas Bersama (Cost Sharing) dalam rangka pemanfaatan Barang Milik Negara di bidang hulu migas dan alokasi biaya overhead Kantor Pusat.

"Pemberian fasilitas-fasilitas perpajakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan," kata Sri.

Selain itu, ada juga fasilitas non fiskal seperti Investment Credit, depresiasi dipercepat, DMO holiday. Juga berlaku konsep bagi hasil penerimaan negara sliding scale, dimana pemerintah mendapat bagi hasil lebih apabila terdapat winfall profit.

"Dalam hal ini revisi PP 79 memuat hal baru, sharing the pain dan sharing the game. Pemerintah dan kontraktor membagi secara adil keuntungan maupun beban," Sri menerangkan.

Revisi aturan ini akan meningkatkan keekonomian proyek-proyek hulu migas di Indonesia. Rata-rata IRR bisa bertambah dari saat ini 11,59% menjadi 15,16%.

"Dengan tingkat IRR sebesar 15,16 persen, diharapkan sektor hulu migas jadi lebih atraktif sehingga akan muncul investasi-investasi baru yang menemukan cadangan-cadangan baru untuk Indonesia," kata Sri.

Saat ini Kementerian ESDM dan Kemenkeu sudah menyepakati seluruh poin-poin yang perlu direvisi. Selanjutnya, draft revisi PP 79/2010 akan disampaikan ke Sekretariat Negara (Setneg). "Proses sesudahnya kita sampaikan ke Setneg," pungkasnya. (hns/hns)

Hide Ads