Demikianlah diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers terkait dengan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dan perlakukan perpajakan bagi industri hulu migas di Gedung Djuanda, Kemenkeu, Jakarta, Jumat (23/9/2016).
"Dari 2007-sekarang, faktor-faktor penurunan dari hulu itu tercermin dari jumlah produksi minyak mentah Indonesia yang menurun. Kita bahkan pada 2016 ini dari 800.000 bph jadi 400.000 bph di 2020, apabila tidak ada perbaikan kegiatan yang menyelesaikan isu di hulunya," jelasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penurunan sudah pasti terjadi, bukan hanya karena faktor sumurnya menjadi tua tapi juga karena tidak adanya faktor eksplorasi baru yang menyebabkan munculnya kemungkinan terjadinya produksi minyak mentah di Indonesia," papar Sri Mulyani.
Upaya tersebut diwujudkan dengan revisi PP Nomor 79 tahun 2010. Dengan pokok perubahan, yaitu pemberian fasilitas perpajakan pada masa eksplorasi, yaitu PPN impor dan bea masuk dan PPN dalam negeri dan PBB.
Kemudian pemberian fasilitas perpajakan pada masa eksploitasi, yaitu PPN impor dan Bea Masuk PPN dalam negeri dan PBB, pembebasan PPh pemotongan atas pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) oleh kontraktor dalam, rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu migas dan alokasi biaya overload kantor pusat.
Pemerintah juga memberikan kejelasan non fiskal, terutama untuk kredit investasi. Sedangkan untuk konsep bagi hasil penerimaan negara bersifat sliding scale. Artinya pemerintah akan mendapatkan bagi hasil yang lebih apabila harga minyak meningkat sangat tinggi.
"Dengan adanya revisi ini diharap kegiatan sektor hulu minyak akan lebih menarik bagi investor," kata Sri Mulyani. (mkl/hns)