Dari total harga gas US$ 8,3/MMBtu itu, PNBP berkontribusi US$ 0,92/MMBtu, dan pajak penghasilan (PPh) US$ 1,19/MMBtu. Kalau negara mengorbankan PNBP dan PPh ini, harga gas bisa turun US$ 2,11/MMBtu. Rata-rata harga gas di hulu bisa turun dari US$ 5,9/MMBtu menjadi US$ 3,82/MMBtu. Ini seperti yang dilakukan oleh Malaysia.
"Kalau PNBP tidak kita ambil seperti Malaysia, nol sama sekali, bisa US$ 5/MMBtu di hulu. Kalau pajak dan PNBP dikorbankan, harga gas US$ 3,82/MMBtu," kata Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, dalam diskusi di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (24/10/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya kalau bagian PNBP tidak diambil negara, akan ada US$ 550 juta penerimaan negara berkurang dari gas. Ini alternatif yang perlu dipertimbangkan. Kalau tax (PPh) juga nggak diambil, penerimaan negara berkurang US$ 1,263 miliar per tahun," paparnya.
Di Malaysia, harga gasnya bisa lebih murah dari Indonesia karena mereka menggunakan skema ini. Gas tidak dijadikan sebagai komoditas untuk penerimaan negara, tapi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Yang dikejar adalah multiplier effect dari industri pengguna gas.
"Malaysia tidak ada share (bagian hasil) untuk negara, mereka menggunakan sistem subsidi," ucap Wirat.
Apakah negara berani berkorban demi meningkatkan daya saing industri nasional? Keputusan ada di tangan Menteri ESDM, Menko Kemaritiman, dan Menko Perekonomian. Tentunya juga harus dibicarakan dengan Menteri Keuangan yang bertanggung jawab atas penerimaan negara.
"Nanti kebijakan dibahas oleh Pak Menteri dan Pak Menko," tutupnya. (wdl/wdl)