Revisi UU Migas Diharapkan Bisa Perbaiki Ikim Investasi

Revisi UU Migas Diharapkan Bisa Perbaiki Ikim Investasi

Michael Agustinus - detikFinance
Sabtu, 29 Okt 2016 16:28 WIB
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Cadangan terbukti minyak Indonesia saat ini tinggal 3,6 miliar barel. Setiap tahun, kurang lebih 300 juta barel disedot. Kalau tak ada penemuan cadangan baru, produksi minyak Indonesia akan habis 12 tahun lagi.

Gas juga demikian meski masih lebih baik dibanding minyak. Pada 2031, PT Pertamina (Persero) memperkirakan bahwa Indonesia sudah menjadi net importir gas. Bahkan impor gas kemungkinan sudah mulai dilakukan pada 2019.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan bahwa sebenarnya Indonesia masih memiliki banyak kekayaan migas yang belum tersentuh. Setidaknya ada 72 cekungan yang belum dieksplorasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maka kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan-cadangan baru harus digiatkan. Indonesia harus mendorong investor-investor untuk mencari migas di cekungan-cekungan yang lokasinya di laut dalam itu.

Tetapi masalahnya, sekarang perusahaan-perusahaan migas enggan melakukan eksplorasi di Indonesia. Banyak pajak dan regulasi yang menyulitkan investor. Menurut SKK Migas, Indonesia termasuk dalam 13 negara dengan iklim investasi hulu migas terburuk di dunia.

Sekarang yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat iklim investasi di sektor hulu migas Indonesia atraktif. Salah satunya lewat revisi atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang sekarang sedang diupayakan oleh pemerintah dan DPR.

"UU Migas ke depan harus bisa menjawab tantangan ke depan, kita perlu migas 3,75 juta boepd (barel oil eqivalent per day) di 2025. Revisi UU ini harus menjawab ketahanan dan kedaulatan energi kita," ujar Taslim dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (29/10/2016).

UU Migas yang baru harus membuat sistem kontrak, perpajakan, kelembagaan, dan perizinan yang ramah untuk investor, baik lokal maupun asing. Taslim menuturkan, saat ini perizinan untuk eksplorasi migas di Indonesia terbagi di 'banyak atap', ini salah satu masalah yang perlu benar-benar diperhatikan.

Contohnya untuk mencari data cadangan migas, investor harus ke Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian ESDM, lalu lelang wilayah kerja (WK/blok) migas dilakukan oleh Ditjen Migas Kementerian ESDM, tapi investor berurusan dengan SKK Migas untuk kontrak-kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC).

"Kita di Indonesia data ada di Pusdatin, lelang di Ditjen Migas, berkontrak dengan SKK Migas. Mestinya satu atap, jangan banyak atap. Akhirnya komitmen eksplorasi jadi nggak jalan. Kami usul dibuat jadi 1 atap dan dikelola 1 entitas bisnis supaya lebih efektif dan efisien," tegasnya.

(ang/ang)

Hide Ads