Ingin Daerah Terpencil Dapat Listrik 24 Jam, PLN Surati Jonan

Ingin Daerah Terpencil Dapat Listrik 24 Jam, PLN Surati Jonan

Michael Agustinus - detikFinance
Selasa, 01 Nov 2016 12:30 WIB
Foto: Michael Agustinus
Jakarta - PT PLN (Persero) menyurati Menteri ESDM, Ignasius Jonan, dua pekan lalu. Dalam suratnya, PLN meminta izin Jonan untuk melelang proyek pembangkit listrik kombinasi, misalnya pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Normalnya, yang dilelang hanya satu jenis pembangkit listrik, misalnya PLTS saja atau PLTD saja. PLN mengusulkan agar beberapa pembangkit bisa dikombinasikan dan digabung menjadi 1 paket, jadi Independent Power Producer (IPP/produsen listrik swasta) pemenang lelang membangun pembangkit listrik hybrid, bukan hanya 1 jenis pembangkit.

Pembangkit hybrid ini rencananya untuk melistriki daerah-daerah terpencil, misalnya pulau-pulau di Maluku dan pedalaman Papua. Dengan pembangkit kombinasi ini, PLN bisa melistriki daerah terpencil selama 24 jam dengan biaya lebih efisien, tidak melulu tergantung pada PLTD yang solarnya mahal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita dua minggu lalu baru saja mengirimkan surat kepada Menteri ESDM, meminta izin untuk kita membuat PPA (Power Purchase Agreement/perjanjian jual-beli listrik) hybrid system, jadi tidak satu jenis sumber energi saja. Jadi mixing misalnya PLTD dengan PLTS, atau PLTG dengan PLTS untuk daerah terisolasi, bisa untuk 24 jam," kata Direktur Perencanaan PLN, Nicke Widyawati, kepada detikFinance di Jakarta, Selasa (1/11/2016).

Dia menjelaskan, pembangkit listrik hybrid akan disesuaikan dengan potensi energi di masing-masing daerah. Misalkan untuk daerah yang sinar mataharinya cukup, bisa memakai PLTS, atau yang anginnya kuat bisa memakai pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).

Pada siang hari, listrik yang digunakan dari PLTS. Kemudian saat malam sudah tidak ada sinar matahari, gantian PLTD yang dinyalakan untuk memasok listrik. Dengan begitu daerah terpencil bisa mendapat listrik 24 jam, tapi PLN juga bisa tetap efisien.

"Sesuai kearifan lokal, kalau anginnya bagus kita pasang PLTB, kalau sinar mataharinya bagus kita pasang PLTS. Kalau ada gas, kita combine dengan PLTG. Kalau tidak ada, misalnya dengan PLTD," ujar Nicke.

Untuk penetapan harga listrik dari pembangkit hybrid ini, PLN ingin pemerintah memberi keleluasaan, biarkan PLN bernegosiasi business to business dengan IPP. "Kita ingin diberi keleluasaan untuk bernegosiasi langsung secara paket ini," tuturnya.

Selain pembangkit hybrid, Nicke juga mengusulkan agar IPP juga yang membangun jaringan distribusi di daerah terpencil. Jadi dalam usulannya, beberapa jenis pembangkit listrik dan jaringan distribusinya dapat dilelang dalam 1 paket untuk dikerjakan oleh 1 IPP saja. Pemerintah tak perlu ikut campur dalam penetapan harga, diserahkan pada mekanisme pasar saja.

"Jadi kita tawarkan 1 paket, malah mungkin perlu micro grid di situ sekalian. Itu akan kita tender. Misalkan di satu pulau ada 800 keluarga, butuhnya hanya 300 Kw, pada waktu siang listriknya dari sinar matahari, begitu jam 4 sore ganti pakai diesel. Kombinasi ini di satu IPP," ucap Nicke.

Tapi meski IPP yang membangun semua pembangkit berikut jaringannya, tapi PLN tetap menjadi off taker. IPP tidak menjual listrik langsung ke masyarakat, melainkan ke PLN, lalu PLN yang menjualnya ke masyarakat.

Tujuannya supaya tarif listrik tetap berkeadilan, sama di seluruh Indonesia. Kalau swasta yang menjual listrik ke masyarakat menggunakan mekanisme pasar, listrik di daerah terpencil pasti mahal sekali.

"Tetap yang memasarkan listriknya PLN. Mereka (IPP) pasti jualnya di atas Rp 1.352/kWh. Kalau PLN jualnya Rp 450/kWh ke masyarakat. Itu kewajiban negara," pungkasnya. (hns/hns)

Hide Ads