Terkait hal tersebut, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalia mengatakan jika pemangkasan tersebut dinilai wajar karena investasi hanya memprioritaskan dari pihak asing.
"Sebab kalau kita hanya mengandalkan mereka ini bicara kedaulatan energi, karena itu dari awal HIPMI mendorong agar kuotanya yang 100 mega, 70 mega dikasih prioritas terhadap anak-anak pribumi. Yang butuh investasi besar baru dikasih ke luar," ungkapnya di Hotel Ibis Jakarta, Selasa (15/11/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PLN lakukan revisi karena 35.000 megawatt tak tercapai, saya pikir itu perencanaan PLN melihat realisasi di bidang listrik sedikit belum sampai target dan revisi," kata Bahlil.
Sementara itu, HIPMI mempertanyakan maksud dari PLN yang terkait aturan untuk mengakomodasi IPP lokal. Rencananya, IPP lokal yang ikut tender pembangkit dengan kapasitas di bawah 100 MW boleh membayar uang jaminan hanya 5%. Padahal, HIPMI telah meminta keringanan agar dana jaminan diturunkan menjadi 1%.
"Kita tetap minta 1%. Sebab uang itu bukan berbentuk bank garansi, sekarang pengusaha pribumi disuruh bangun power plan satu mega kurang lebih US$ 1,2-1,5 juta sehingga tergantung wilayah mana," kata Bahlil.
"Ini kan mana ada orang pribumi kaya gitu, yang harusnya jadi kewajaiban bagi PLN (untuk) mendorong anak-anak pribumi ambil bagian, kita setuju bahwa harus ada persyaratan yang seperti dana di taruh, tapi jangan 10% kita minta 2% kok di Hipmi. Tapi sekarang 5%, kemudian PLN bilang ini untuk pengusaha gurem, kita sedang kejar dia itu, yang dimaksud pengusaha gurem seperti apa," sambung dia.
Bahlil tetap bersikeras, jika IPP lokal hanya membayar jaminan di bawah 5%. Sedangkan untuk asing dapat di atas 10%.
"Artinya, lokal harus di bawah 5%. Kalau asing kan dianggap mereka uang banyak bikin saja 10%, lokalnya 2%. Berarti Hipmi secara tegas meminta IPP lokal di bawah 5% dan asing 10%," tutupnya. (ang/ang)











































