Demikian diungkapkan oleh Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi, dalam diskusi Krisis Energi, Mafia Migas, dan Revisi UU Migas di Bakoel Koffie, Jakarta, Senin (21/11/2016).
Tata kelola ISC dalam pengadaan impor migas yang lebih terbuka memang menyulitkan mafia migas. Tapi, kata Fahmy, mafia migas tak kehilangan akal, perburuan rente yang mereka lakukan kini semakin canggih. Buktinya adalah kasus Glencore baru-baru ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menambahkan, selain di Petral dan ISC, mafia migas juga bermain di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Menurutnya, hal ini dapat terjadi karena SKK Migas memiliki kewenangan yang amat besar tanpa kontrol memadai.
Karena itu, revisi atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) harus membuat tata kelola yang transparan agar mafia migas tak bisa bergerak.
"Mereka (mafia migas) juga ada di SKK Migas. Dalam konteks revisi UU Migas, harus diperbaiki tata kelola migas agar mafia tidak bisa lagi mendekat, baik di Pertamina maupun SKK Migas. Kewenangan SKK Migas besar sekali. Dengan kewenangan besar ini menggoda, Rudi Rubiandini yang alim juga tergelincir," tutur Fahmy.
Dia berpesan agar apapun sistem yang nantinya dibentuk oleh UU Migas yang baru, yang penting harus berpihak pada kepentingan rakyat. Sesuai pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, sumber daya alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan pihak asing dan mafia migas.
"Yang paling penting UU Migas harus mencerminkan pasal 33 UUD 1945, untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan asing atau mafia migas," tutupnya. (dna/dna)