Sebelumnya pada 26 November 2015, Pertamina telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Saudi Aramco untuk proyek RDMP Dumai dan Balongan. Sebelum 26 November 2016, harusnya sudah ada penandatanganan Head of Agreement (HoA) sebagai tindak lanjut. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan.
"Kami sudah kirim surat, menunggu respons. Opsinya adalah kerja sama di kilang Dumai dan Balongan off dulu. Kita nego kilang Cilacap dulu, yang satu saja belum clear padahal semua butuh dipercepat," kata Wakil Direktur Utama Pertamina, Ahmad Bambang, kepada detikFinance di Jakarta, Rabu (14/12/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan untuk proyek RDMP Cilacap, HoA sebenarnya sudah kadaluarsa per 26 November 2016 lalu. Tapi Pertamina dan Saudi Aramco sepakat memperpanjang negosiasi hingga 26 Desember 2016, perusahaan patungan (Joint Venture/JV) untuk proyek RDMP Cilacap harus dibentuk sebelum tanggal tersebut.
Tapi sampai sekarang kedua belah pihak belum mencapai titik temu juga dalam negosiasi pembentukan JV. "Belum, masih negosiasi," ujar Bambang.
Sebagai informasi, saat ini kapasitas terpasang seluruh kilang Pertamina mencapai 853 ribu barel per hari (bph). Sedangkan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) Indonesia tercatat sebesar 1,57 juta bph.
Ada empat proyek RDMP yang dikerjakan Pertamina untuk meningkatkan produksi BBM di dalam negeri, yaitu RDMP Ciladap, Balongan, Dumai, dan Balikpapan.
Setiap proyek RDMP membutuhkan dana investasi kurang lebih US$ 5 miliar. Apabila seluruh RDMP ini selesai, maka kapasitas keempat kilang itu akan naik dari 820 ribu bph menjadi 1,61 juta bph.
Selain itu, 2 kilang baru akan dibangun, yaitu Grass Root Refinery (GRR) Tuban dan Bontang. Masing-masing berkapasitas 300.000 bph, biaya investasinya kurang lebih US$ 12,5 miliar per kilang. Semua proyek kilang ditargetkan selesai sebelum 2023. Kalau semuanya berjalan lancar, Indonesia tak lagi mengimpor BBM pada 2023. (wdl/wdl)