Sebagai gambaran, saat ini bagi hasil minyak antara negara dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) adalah 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor (85:15). Selain mendapatkan bagian sebesar 15%, kontraktor juga mendapat cost recovery dari negara. Cost recovery dipotong dari minyak bagian negara. Cost recovery adalah biaya yang dikeluarkan kontraktor untuk memproduksi migas dan harus diganti oleh negara.
Sedangkan bila menggunakan gross split, misalkan bagi hasil antara negara dan kontraktor 50:50, maka bagian kontraktor adalah 50% dari hasil produksi tanpa ada tambahan dari cost recovery. Negara tidak menanggung biaya operasi yang dikeluarkan untuk memproduksi migas, seluruhnya menjadi tanggungan kontraktor. Jadi bagian yang diterima negara bersih 50%, tidak dipotong cost recovery.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, skema gross split mendorong efisiensi di industri hulu migas. Cost recovery cenderung membuat perusahaan-perusahaan migas yang menjadi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di Indonesia boros. Sebab, pengeluaran-pengeluaran untuk produksi migas ditanggung oleh negara.
Jonan menuturkan, sama halnya seperti orang yang pergi dengan biaya sendiri dan pergi dengan biaya ditanggung pihak lain. Kalau dibayari, tentu orang akan cenderung tidak memikirkan efisiensi biaya, memilih yang mahal. Kalau pakai uang sendiri, barulah berhemat.
"Mengenai gross split, tadi saya memberi ceramah di SKK Migas jam 8 pagi, saya tanya ke salah satu pegawai. Kalau tugas kemana-mana dari SKK Migas naik apa? Katanya Garuda. Kalau liburan sendiri naik apa? Katanya cari yang paling murah. Ini menarik jawabannya," ujar Jonan.
Jonan memberikan contoh lain. Ia mengungkapkan ada KKKS yang menyusutkan nilai pesawat hanya dalam waktu 3 tahun. Depresiasi pesawat itu, menurut Jonan, sangat tidak wajar, negara harus menanggung biaya penyusutan yang amat mahal.
"Aircraft dalam lampirannya itu penyusutannya 3 tahun. Nggak ada pesawat disusutkan 3 tahun, saya mantan Menteri Perhubungan, Pak Amien (Kepala SKK Migas). Hal-hal yang begini kita coba sesuaikan untuk yang ke depan. Tidak ada tujuannya untuk membuat susah satu dan lain pihak, supaya lebih fair saja. Semua industri harus efisien ke depan," tegas Jonan.
Kedua, skema gross split akan membuat SKK Migas lebih fokus pada peningkatan eksplorasi dan produksi migas, tak lagi sibuk mengurusi cost recovery. Diharapkan cadangan terbukti (P1) migas Indonesia bisa ditingkatkan.
"SKK Migas akan tetap ada karena cost recovery masih ada, akan ada 2 sistem. Orientasi SKK Migas akan berubah dari memeriksa biaya orang jadi fokus ke produksi, eksplorasi. Itu yang diperlukan negara," tandas Jonan.
Ketiga, proses bisnis di hulu migas menjadi lebih pendek, lebih praktis. Tak ada lagi perdebatan soal besaran cost recovery yang harus diganti negara setiap tahun. "Daripada ribut cost recovery, potong di depan saja. Kita fokus ke eksplorasi dan produksi," ujarnya.
Skema gross split ini akan diberlakukan untuk kontrak-kontrak baru. Sedangkan kontrak lama yang belum habis masa berlakunya masih memakai skema cost recovery.
"Kita tidak akan ubah kontrak yang eksisting, kita ubah yang ke depan. Yang sudah kontrak dengan negara, kita harus hormati," tutup Jonan. (hns/hns)











































