Deputi Bidang Usaha Energi Logistik Kawasan dan Pariwisata, Kementerian BUMN, Edwin Hidayat Abdullah, menjelaskan praktik ketidakefisienan ini sudah terjadi puluhan tahun dan seolah tak tersentuh sama sekali.
Dirinya tak habis pikir bagaimana produsen gas dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) menjual gasnya ke trader.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"So funny (sangat lucu). Kenapa sih nggak jual langsung ke yang punya infrastruktur," tandasnya.
Panjangnya rantai pasok gas dari sumur migas ke konsumen ini, membuat harga gas Indonesia ini lebih mahal ketimbang negara tetangga.
"Sementara regulasi migas kita ini liberal. Pertamina ambil dari K3S, dijual lagi ke trader, baru setelah trader keempat baru dibeli sama anak perusahaannya PGN. Ini yang bikin mahal," ungkap dia.
Menurut Edwin, praktik broker gas tanpa infrastruktur ini pula yang akhirnya membuat pembangunan infrastruktur selama puluhan tahun jalan di tempat.
"Gas ini kan kuncinya di infrastruktur, kita lemah sekali, PGN saja hanya 6.000 km (panjang pipa), kalau ditotal semua, termasuk sama Pertamina 12.000 km, bandingkan dengan China atau Jepang yang katanya sudah ratusan ribu," ujar Edwin. (hns/hns)