Sebab, listrik tidak hanya harus tersedia, tapi harganya juga harus terjangkau oleh rakyat. Lokasi pembangkit listrik dan sumber tenaganya menentukan tingkat efisiensi.
Contohnya pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), tentu biaya investasi dan operasinya lebih murah kalau didirikan di dekat ladang gas. Dengan begitu, tak perlu dibangun pipa gas yang panjang untuk mengalirkan gas ke pembangkit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau PLTG berada di dekat sumur gas, paling tidak biaya investasi untuk pembangunan pipa dapat dihemat. "Kalau nggak pasang pipa, berapa penghematannya? Tergantung harga pipanya berapa," ujarnya.
Pembangkit listrik dengan konsep seperti itu akan dibangun di daerah-daerah yang kebutuhan listriknya tinggi dan memiliki cadangan energi untuk memenuhinya.
"Pertama harus ada demand listriknya, kedua ada gasnya. Kalau demand-nya ada tapi gasnya nggak ada nggak bisa, kalau gasnya ada tapi demand-nya nggak ada juga nggak bisa. Memang mau nyetrum laut?" cetusnya.
Tak hanya PLTG, konsep lokasi pembangkit yang 'nempel' dengan sumber bahan bakar ini juga bisa diaplikasikan untuk pembangkit-pembangkit jenis lain, misalnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Jenis pembangkit akan disesuaikan dengan kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh setiap daerah. Kalau suatu daerah kaya gas, bisa dibangun PLTG. Jika yang ada batu bara, dibangun PLTU mulut tambang.
"Kan PLTU mulut tambang sudah. Kalau kita bisa bangun di well head, ngapain jauh-jauh? Nambah ongkos lagi dong. Kita lihat dari efisiensi saja," ucap Jarman.
Permen ESDM terkait lokasi pembangkit listrik dan sumber energinya ini akan diselesaikan dan diteken Jonan dalam waktu dekat. "Segera, bisa sebulan, 2 bulan," tutupnya. (mca/hns)











































