Jonan: Gross Split Tak Otomatis Tingkatkan Investasi, Tapi Adil

Jonan: Gross Split Tak Otomatis Tingkatkan Investasi, Tapi Adil

Michael Agustinus - detikFinance
Jumat, 20 Jan 2017 18:32 WIB
Foto: Michael Agustinus-detikFinance
Jakarta - Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split (Permen ESDM 08/2017) telah resmi diundangkan, sejak 13 Januari 2017.

Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) Blok ONWJ yang diteken oleh SKK Migas dan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ pada 18 Januari 2017, telah menggunakan skema gross split. Ini adalah PSC pertama yang tak lagi menggunakan skema cost recovery.

Dengan menggunakan gross split, bagi hasil minyak antara negara dan PHE ONWJ sebagai kontraktor 42,5:57,5, maka bagian kontraktor adalah 57,5% dari hasil produksi tanpa ada tambahan dari cost recovery.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Negara tidak menanggung biaya operasi yang dikeluarkan untuk memproduksi migas (cost recovery), seluruhnya menjadi tanggungan kontraktor. Jadi bagian yang diterima negara bersih 42,5%, tidak dipotong cost recovery.

Salah satu tujuan dibuatnya skema gross split tentu saja agar investasi di sektor hulu migas lebih menarik. Tapi itu tak otomatis membuat investasi di hulu migas langsung naik. Sebab, ada berbagai faktor lain yang menentukan ikilm investasi hulu migas, seperti perpajakan, isu lingkungan, kondisi sosial, dan tingkat harga minyak.

Menteri ESDM, Ignasius Jonan, menyebut harga minyak sebagai faktor utama yang amat menentukan investasi hulu migas. Selama harga minyak dunia rendah, investasi hulu migas sulit bertambah.

"Daya tarik itu macam-macam. Ada tata cara bekerja seperti gross split, rezim pajaknya bagaimana, masalah lingkungan, masalah sosial, masyarakatnya bagaimana. Yang lebih penting harga produknya, harga minyak sama gas berapa. Apakah gross split akan meningkatkan investor? Belum tentu, lihat harga minyaknya juga," ujar Jonan, usai berkunjung ke STEM Akamigas, Blora, Jumat (20/1/2017).

Gross split bukan obat mujarab yang bisa langsung membuat eksplorasi dan produksi migas di Indonesia jadi bergairah. "Kalau harga minyak rendah, US$ 30-40/barel mau dibikin split kayak apapun orang enggak tertarik," tuturnya.

Bagian negara juga belum tentu bertambah bila menggunakan skema gross split, begitu juga dengan bagian kontraktor. Apakah bagian negara jadi lebih besar atau tidak dibanding dengan menggunakan skema cost recovery sebenarnya tergantung berbagai faktor seperti kondisi lapangan, besarnya cost recovery, harga minyak, dan sebagainya.

Tapi menurut Jonan, satu yang pasti adalah skema gross split lebih adil dibanding skema cost recovery. "Kami perhitungkan, gross split ini untuk pendapatan netto negara bisa lebih baik. Kalau enggak lebih besar paling tidak lebih fair, lebih baik," ucapnya.

Kontraktor juga memperoleh kemudahan dengan penggunaan skema gross split. Sekarang mereka bebas menentukan sendiri biaya operasinya, tak perlu prosedur berbelit-belit untuk pengadaan barang dan jasa, tak perlu minta persetujuan untuk pengeluaran-pengeluaran biaya operasi.

"Untuk kontraktor juga lebih baik, enggak perlu mengikuti proses pengadaan yang lama sekali, adakan prosedur sendiri," pungkasnya. (mca/wdl)

Hide Ads